Page 97 - Kumpulan CerPen-by Suci Harjono
P. 97
Pak Kyai, pemilik pondok pesantren terbesar di pesisir utara itu
hanya mengangguk. Tangannya mengusap rambutku. “Aku tinggal dulu
ya.”
“Njih, Kyai,” jawabku dengan hormat.
Hening. Tak ada lagi santri yang berada di masjid. Semua sudah
kembali ke pondok, mungkin sudah terbuai dengam mimpi menyambut
dinihari untuk berkumpul kembali di masjid menunaikan sholat
tahajud. Mataku tak mau lepas terus mencari hakikat kehidupan ini dari
keteladanan Nabi Muhammad.
Tiga bulan setelah keluar dari Rumah Sakit, aku melakukan
banyak perjalanan ke berbagai kota. Aku berusaha mencari pencerahan
hidup. Berbagai kota di pulau Jawa telah kudatangi. Satu sampai dua
minggu biasanya aku singgah di pondok pesantren untuk menimba ilmu.
Meskipun belum ada yang mempu menyentuh hatiku yang terdalam
dan sanggup memberikan cahaya baru, tetapi setidaknya aku sudah
meninggalkan komunitas lamaku. Tak ada lagi minuman keras, tak ada
lagi nongkrong yang menghabiskan waktu dan mampu melupakan
waktu ibadahku. Pencarianku berhenti di sebuah pondok pesantren di
sebuah kabupaten di pesisir utara. Disinilah sekarang aku berada untuk
membasuh khilafku dan belajar memahami hidup yang lebih hakiki.
Teng…teng…
Aku terkejut mendengar bunyi jam dinding besar di pesantern
yang biasa membangunkan para santri. Jam dua, sebentar lagi para santri
akan datang ke masjid untuk sholat tahajud. Aku berdiri, melemaskan
otot-otot kaki dan punggung yang kaku. Saat hendak mengambil
air wudhu aku melihat bayangan ibu mengenakan gamis panjang
warna putih, tersenyum menatapku. Mata teduhnya terlihat bahagia.
Alhamdulillah, ibu tampak diliputi rasa bangga. Kubalas senyum ibu
dan lirih kulafalkan Al-Fathikah. Smoga engkau mendapatkan tempat
disisiNya, ibu. Ucapku dengan segenap kerinduan.*****
(16/11/14)
Suatu Malam di Sebuah Jalan_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com 97