Page 178 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 178
ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU
oleh mubalig dari negeri Arab. Masjid itu mengalami perpindahan lokasi akibat
gangguan orang Belanda yang menginjakkan kakinya di Tanah Hitu pada 1580
setelah Portugis pada 1512. Sebelum pecah Perang Wawane (1634), Belanda
sudah mengganggu kedamaian penduduk lima kampung yang telah menganut
ajaran Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari. Merasa tidak aman dengan
ulah Belanda, pada 1614 Masjid Wawane dipindahkan ke Kampung Tehala yang
berjarak 6 kilometer sebelah timur Wawane. Tempat kedua masjid itu berada
di suatu daratan yang banyak tumbuh pepohonan mangga hutan atau mangga
berabu yang dalam bahasa Kaitetu disebut wapa. Itulah sebabnya masjid itu
diganti namanya menjadi Masjid Wapauwe yang kira-kira berarti “masjid yang
dibangun di bawah pohon mangga berabu” pada sebidang tanah yang disebut
teon samaiha.
Dalam Hikayat Tanah Hitu, Al-Kisah XXVI, yang ditulis salah seorang penyiar
Islam di Maluku, Imam Rijali, yang kemudian dikutip Rumphius, tahun 1700,
dikisahkan pembangunan masjid Negeri Hila dilaksanakan dalam tiga fase
dengan tiga bentuk atau arsitektur bangunan masjid yang berbeda. Bangunan
Masjid pertama berdiri pada abad ke-12 berbentuk surau tergantung dengan
empat pilar penyanggah. Bangunan masjid kedua pada abad ke-14 berbentuk
piramid dan bangunan ketiga abad ke-18 yang masih bertahan hingga saat ini.
Pada 1646, Belanda akhirnya menguasai seluruh Tanah Hitu. Dalam rangka
kebijakan politik ekonominya, Belanda melakukan proses pemindahan penduduk
dari daerah pegunungan ―tidak terkecuali penduduk kelima negeri tersebut―
ke Negeri Hitu. Proses pemindahan lima negeri itu terjadi pada 1664―tahun ini
kemudian ditetapkan sebagai tahun berdiri Negeri Kaitetu.
Di masjid tersebut juga tersimpan mushaf al-Quran yang konon termasuk
tertua di Indonesia. Yang tertua adalah mushaf Imam Muhammad Arikulapessy,
imam pertama Masjid Wapauwe, yang selesai ditulis tangan pada 1550 tanpa
iluminasi atau hiasan pinggir. Lainnya adalah mushaf Nur Cahya, cucu imam
Muhammad Arikulapessy, yang selesai ditulis pada 1590, juga tanpa iluminasi
dan ditulis tangan pada kertas produk Eropa. Selain al-Quran, karya Nur Cahya
lainnya adalah kitab barzanji atau syair puji-pujian kepada Nabi Muhammad
SAW, sekumpulan naskah khotbah seperti naskah khotbah Jumat pertama
162