Page 179 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 179

ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU



               Ramadhan  1661  Masehi,  Kalender  Islam  tahun 1407  Masehi,  sebuah  falaqiah
               (peninggalan) serta manuskrip Islam lain yang berumur ratusan tahun. Seluruh
               peninggalan sejarah tersebut, saat ini merupakan pusaka Marga Hatuwe yang
               masih tersimpan dengan baik di rumah pusaka Hatuwe yang dirawat oleh Abdul
               Rachim Hatuwe, keturunan ke-12 Imam Muhammad Arikulapessy. Jarak antara
               rumah pusaka Hatuwe dengan Masjid Wapauwe hanya 50 meter.


                   Dalam  cerita rakyat setempat dikisahkan ketika  masyarakat Tehala, Atetu
               dan Nukuhaly turun ke pesisir pantai dan bergabung  menjadi  negeri  Kaitetu,
               Masjid  Wapauwe masih berada  di dataran  Tehala. Namun, pada  suatu  pagi,
               ketika masyarakat bangun dari tidurnya masjid itu telah berada di tengah-tengah
               permukiman penduduk dengan segala kelengkapannya. Menurut kepercayaan
               masyarakat Kaitetu,  masjid itu berpindah  secara gaib. Sementara  itu, kondisi
               mushaf Nur  Cahya  beserta  manuskrip  tua lainnya  tampak  terawat meskipun
               sudah mengalami sedikit kerusakan seperti berlubang kecil, sebagian seratnya
               terbuka dan tinta yang pecah akibat udara lembab.


                   Masjid yang  masih dipertahankan  arsitektur aslinya  itu berdiri  di atas
               sebidang tanah yang oleh warga setempat disebut teon samaiha. Letaknya di
               antara pemukiman  penduduk  Kaitetu  dalam  bentuk  yang sangat sederhana.
               Konstruksinya berdinding gaba-gaba (pelepah sagu yang kering) dan beratapkan
               daun rumbia,  masih berfungsi  dengan baik  sebagai  tempat  bersalat  Jumat
               ataupun salat lima waktu meski sudah ada masjid baru di desa itu.

                   Bangunan Masjid Wapauwe berdenah bujursangkar dengan ukuran 10 x 10
               meter, sedangkan bangunan tambahan yang merupakan serambi berukuran 6,35
               x 4,75 meter. Bangunan asli pada  saat pembangunan  tidak memiliki  serambi.

               Meski kecil dan sederhana, masjid ini mempunyai beberapa keunikan yang jarang
               dimiliki masjid lainn yaitu konstruksi bangunan induk dirancang tanpa memakai
               paku  tetapi  menggunakan  pasak  kayu. Pernah direnovasi  pertama  kali  oleh
               pendirinya, Jamilu, pada 1464 tanpa mengubah bentuk aslinya. Meski pernah
               mengalami  dua kali pemindahan, bangunan inti  masjid tetap asli. Bangunan
               mengalami renovasi kedua kali pada 1895 dengan penambahan serambi di depan
               atau bagian timur masjid.

                   Secara spiritual, puncak atap masjid Negeri Hila memiliki makna simbolik.




                                              163
   174   175   176   177   178   179   180   181   182   183   184