Page 165 - ETPEM2016
P. 165
di dalam organisasi pemerintahan, terutama atasannya di masing-
masing instansi/unit kerja.
Jika pola ini digunakan sepenuhnya (tanpa menggabungkan
dengan pola peragaan) bisa jadi akan mengantarkan diri pelaku ke
etika yang diaplikasikan secara terpaksa, bukan atas kesadaran,
keihklasan, dan keteguhan diri pelaku.
Dalam pola pelakonan, sesuai dengan kedudukannya dalam
struktur, seluruh bawahan perlu didampingi, diarahkan dan
dibimbing oleh pejabat atau lembaga yang lebih atas menurut
hierarki dalam struktur pemerintahan. Kalau tidak demikian bisa
timbul ‘gangguan’ pada sistem. Apalagi sebagian besar aparatur
pemerintah berada dalam struktur birokrasi pemerintahan yang
salah satu karakteristiknya mempunyai standarisasi perilaku dan
kinerja. Tanpa pola pelakonan, bisa terjadi aplikasi etika
pemerintahan oleh aparatur pemerintah ada yang bertentangan
dengan kepentingan sistemnya.
Jika dikaitkan dengan pendapat Immanuel Kant, seorang
filsuf Jerman (dalam Bertens, 2007:256), pola peragaan merupakan
aplikasi etika otonom (kehendak bebas dari dirinya sendiri),
sedangkan pola pelakonan merupakan aplikasi etika heteronom
(yang dikendalikan dari luar). Kedua pola ini sekalipun secara
teoritik mudah dibedakan namun secara praktik tidak demikian.
Keduanya membaur dan saling melengkapi/menguatkan. Mungkin
pada saat seseorang belum menjadi aparatur pemerintah, aplikasi
etika yang umum (selain etika pemerintahan) dilakukan melalui
pola peragaan. Tetapi setelah mereka menjadi aparatur
pemerintah mereka dituntut mengaplikasikan etika pemerintahan,
149