Page 185 - ETPEM2016
P. 185
tindakan dan siap menerima risikonya dengan sukarela. Kebebasan
ini terkait dengan peranan hati nuraninya. Yang dimaksud dengan
hati nurani menurut Bertens (2007:51) adalah “penghayatan
tentang baik atau buruk berhubungan dengan tingkah laku konkret
kita yang memerintahkan atau melarang kita untuk melakukan
sesuatu kini dan di sini.” Hati nurani menurut Poespoprodjo
(1999:244) merupakan penuntun bagi perbuatan-perbuatan yang
akan datang, pendorong untuk mengerjakan atau menghindarinya,
hakim atas perbuatan-perbuatan yang telah lalu, dan juga sebagai
sumber pembenaran atau penyesalan.
Dalam pembicaran etika, ‘kebebasan etika’ adalah perbuatan
seseorang untuk melakukan apa saja yang dikehendaki, selagi ia
bisa mempertanggung-jawabkannya dan tidak melanggar norma-
norma yang ada (Abdullah, 2006:135). Kebebasan jenis ini oleh
Bertens (2007:114) disebut kebebasan eksistensial, yakni
kebebasan dan kesanggupan seseorang dalam memberikan suatu
arah yang tetap kepada hidupnya. Ia berbuat baik, bukan karena itu
dinantikan daripadanya sesuatu dari orang lain, bukan karena
dengan itu ia dapat mengelakkan banyak kesusahan (teguran
denda, hukuman), dan bukan karena hal itu diperintahkan oleh
instansi dari luar, melainkan karena suatu keterlibatan dari dalam
dirinya.
Pendapat tersebut nampaknya ada hubungan dengan etika
otonom dan etika heteronom berdasarkan pendapat Imanuel Kant
(1724-1804). Etika otonom adalah etika yang dijalankan atas
kesadaran sendiri. Orang yang memegang etika otonom akan
169