Page 186 - ETPEM2016
P. 186
berbuat baik bukan karena suruhan, perintah, tekanan, paksaan,
atau ancaman dari luar dirinya. Ia berbuat baik karena ia sendiri
menyadari makna etika dengan sepenuh hati bahwa ia sebagai
manusia harus berbuat baik agar hidupnya memperoleh
kebahagiaan hakiki. Berbeda dengan orang yang memegang etika
heteronom, ia akan berbuat baik bukan karena kesadaran akan
makna etika atau keinsyafan diri sebagai pendorong internalnya,
melainkan ia menaati etika tanpa tahu maknanya, bukan atas dasar
keinsyafannya, tetapi karena dorongan eksternal semata-mata.
Dari sini dapat ditarik benang merah antara etika otonom
dengan kebebasan eksistensial. Pada suatu saat, kebebasan
eksistensial dapat menghadirkan etika otonom, dan pada saat lain
etika otonom dapat menghadirkan kebebasan eksistensial. Secara
hipotetik dapat dikatakan semakin luas kebebasan eksistensial
seseorang semakin kuat etika otonomnya. Atau sebaliknya,
semakin kuat etika otonom seseorang semakin luas kebebasan
eksistensialnya.
Kebebasan jenis ini merupakan kebebasan yang sangat ideal
yang dalam praktik kehidupan sehari-hari sangat sulit digunakan
sepenuhnya. Apalagi dalam suasana kehidupan yang semakin
kompleks seperti sekarang. Berbagai kepentingan eksternal yang
semakin banyak, semakin mempersulit kebebasan eksistensial
seseorang terwujudkan sepenuhnya. Menurut Frans Magnis
Suseno (1987:33), kebebasan eksistensial berada dalam ruang
gerak kebebasan sosial. Kebebasan eksistensial (menentukan sikap
sendiri) tidak lepas dari kebebasan sosial (ruang gerak yang
170