Page 187 - ETPEM2016
P. 187
diberikan lingkungan masyarakat). Pertanyaan ‘bebas untuk apa?’
(kebebasan eksistensial) tidak akan lepas dari pertanyaan ‘bebas
dari apa?‘ (kebebasan sosial). Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa kita hanya dapat menentukan sikap sendiri, sejauh orang
lain membiarkan kita. Konsekuensinya, jika orang lain tidak
membiarkan kita, maka kebebasan eksistensial kita bisa terkurangi.
Itulah persoalan yang dihadapi oleh aparatur pemerintah dalam
mengaplikasikan etika pemerintahan yang cukup sulit dan nyaris
tidak akan dapat terhindarkan selamanya. Pantas kalau
mengaplikasikan etika itu dikatakan juga sebagai ‘seni’ (arts). Akan
indah nampaknya apabila seseorang pandai menggunakan
kebebasan eksistensialnya di tengah-tengah kebebasan sosial yang
membatasinya.
Faktor ketiga, keimanan atau kepercayaan seseorang.
Menurut Djoko Widagdho (2003:192), kepercayaan adalah
hal-hal yang berhubungan dengan pengakuan atau keyakinan akan
kebenaran. Kepercayaan itu dapat berupa kepercayaan kepada diri
sendiri, kepada orang lain, kepada pemerintah dan kepada Tuhan
YME. Kepercayaan kepada Tuhan YME adalah keyakinan yang
paling kuat (bagi yang beragama). Dengan mengacu pada pendapat
ini, dapat diperkirakan orang yang kuat keimanannya, merasa yakin
bahwa terhadap setiap perbuatannya akan dinilai oleh Tuhannya
dan nilai yang diharapkannya adalah nilai yang tinggi derajatnya.
Contoh di dalam ajaran Islam (Tafsir, 2000:40), nilai keetikan
perilaku berderajat 5 (lima), yaitu nilai ‘baik sekali’ bagi perbuatan
yang berkategori ‘wajib’ misalnya, menolong orang susah dan
171