Page 187 - Jalur Rempah.indd
P. 187
REMPAH, JALUR REMPAH DAN DINAMIKA MASYARAKAT NUSANTARA 177
J. PERDAGANGAN DI JAWA
Pada tahun 1619, sebuah perjanjian ditandatangani di Eropa ketika Inggris
dan Belanda akan bekerjasama untuk menghindari lonjakan harga dan upaya
saling menghancurkan di antara kedua bangsa. Konsekuensi dari perjanjian itu,
memberikan gambaran yang tidak menyenangkan tetapi bisa dipahami dari
usaha kedua belah pihak untuk mematuhi perjanjian ini. Namun, di lapangan
tidaklah mungkin untuk mengakhiri kompetisi yang tidak dapat dihindari di
antara bangsa itu. J.P. Coen segera mengetahui bagaimana dia bisa menafsirkan
dan menggunakan perjanjian itu demi kepentingan Kompeni Belanda.
Contoh dari konsultasi Dewan Pertahanan bersama ini berlaku dalam
suatu permohonan yang datangnya dari raja Jambi untuk meminta bantuan
melawan invasi dari Aceh yang menjadi ancaman selama beberapa tahun.
Kompeni Belanda yang telah menutup lojinya di Aceh pada 1622, telah
memberi perintah untuk mengirimkan beberapa kapal dari Jambi sebagai
upaya blokade terhadap Malaka. Akan tetapi orang Inggris yang khawatir
akan pembalasan terhadap lojinya di Aceh, merasa terkejut dan tertipu oleh
tindakan sepihak Belanda. Selanjutnya mereka tidak memiliki kapal pada
saat itu dan mereka memperkirakan bahwa orang Belanda akan memperoleh
monopoli lada di Jambi atau setidaknya memperoleh hak istimewa. Di sisi
lain mereka juga memahami untuk menghindarkan Aceh memonopoli lada
di Jambi. Sementara itu perdagangan lada sejak awal menjadi permasalahan
terpenting bagi perdagangan Kompeni Belanda. Pasar lada Banten tertutup
bagi mereka. Pasar Banjarmasin belum memasok banyak. Pelabuhan lada yang
lebih kecil di semenanjung Malaya telah dihancurkan oleh orang Aceh. Kini
dikhawatirkan bahwa mungkin juga Aceh akan mengarah pada penghancuran
seluruh pelabuhan Jambi, sebagaimana sifatnya yang keras telah ditunjukkan
terhadap kerajaan Johor yang baru muncul di Kedah, di Perak dan di Pahang.
Dari situ bisa diduga bahwa Kompeni Belanda harus tunduk pada langkah
penghancuran dan monopoli penguasa Aceh dan sepenuhnya tunduk pada
tuntutannya jika mereka ingin mendapatkan lada. Hal ini tidak hanya untuk
wilayah Aceh tetapi juga di Tiku, Pariaman dan seluruh pantai timur dan barat
Sumatera, karena orang Aceh mengetahui bahwa selama Kompeni Belanda