Page 190 - Jalur Rempah.indd
P. 190

180     REMPAH, JALUR REMPAH DAN DINAMIKA MASYARAKAT NUSANTARA



              berusaha menerapkannya  seketat  mungkin.  Belanda  lebih suka  mengambil

              lada di pantai barat sendiri, tetapi harus membayar harga yang telah ditetapkan
              di Aceh untuk bisa bebas dari kewajiban memberi hadiah bagi para penguasa
              di Pariaman dan tempat lain serta menghindari inflasi harga.

                 Daghregister tahun 1625 mencatat berapa banyak sultan terlibat dalam
              perdagangan barter pantai barat antara kain katun dan lada. Kapal Groningen

              berlabuh di Tiku, hanya memperoleh muatan 140 ton lada; lada di Tiku menjadi
              mahal sebagai akibat dari pemerasan yang dilakukan oleh  orang Aceh, yang
              terutama mereka menghendaki barter dengan kain kerajaan. Ketika salah satu
              dari kompeni  membeli satu bahar lada, penjual diminta untuk menyerahkan
              satu bahar kepada raja sebagai upetinya, di mana ada banyak kerugian yang
              dialami. Di samping itu kompeni juga harus membayar pajak tunai.


                 Orang Inggris memperoleh pengalaman serupa pada 1615 meskipun pada
              kenyataannya mereka memegang monopoli selama dua tahun  atas pembelian
              lada.  Meskipun orang Belanda sangat  ingin melakukan perdagangan  bebas
              di pantai barat, yang berusaha mereka jamin lewat perjanjian kedua bangsa
              Eropa  itu    pada  tahun-tahun  berikutnya,  penguasa  Aceh cukup  menyadari
              bahwa dia harus tetap berpegang pada keputusannya.


                 Produksi  lada  Pidie  sangat tidak  memadai. Aceh memperoleh  sebagian
              besar ladanya terutama dari Sumatera Barat. Pada 1614 lebih dari 2.000 bahar
              lada dikapalkan dari Aceh, ketika orang Inggris memperoleh 1.500 bahar dan
              orang Belanda 550 bahar. Pada saat keberangkatan kapal Wapen, tidak ada

              lada yang tersisa di Aceh. Raja mengharapkan 3.000 ton lada dari Tiku dan
              Pariaman setiap hari, yang kebanyakan masih jatuh ke tangan orang Inggris.
              Aceh memperoleh sangat  sedikit lada,  antara  800 dan  1100  bahar  setiap
              tahun sehingga kekurangan 300 bahar pada tahun itu, karena panen buruk.
              Para petani lada setempat sibuk menanam bibit cengkeh lagi.


                 Ketika  perdagangannya  mulai  merosot,  Aceh  harus mempertahankan
              monopoli ladanya di pantai barat yang harus berbagi dengan Banten secara
                                                                                    182
              ketat. Waktu berubah, yang tampak dalam catatan Daghregister tahun 1628,
              182  J.A. Van der Chijs. Dagh-register.
   185   186   187   188   189   190   191   192   193   194   195