Page 39 - jhana dan umat awam
P. 39
menjelaskan masing-masingnya secara berturut-turut) dan
membedahnya ke dalam masing-masing unsurnya: bentuk,
perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan
kesadaran dalam hal empat jhāna; dengan cara yang sama,
tetapi dengan menghilangkan bentuk, untuk ketiga
pencapaian tanpa bentuk. [34] Selanjutnya ia merenungkan
fenomena-fenomena ini dalam sebelas cara: sebagai tidak
kekal, penderitaan, penyakit, borok, anak panah,
keengsaraan, kemalangan, makhluk asing, kehancuran,
kosong, dan tanpa-diri. Kemudian, ketika perenungannya
mencapai kematangan, ia mengalihkan pikirannya dari hal-
hal ini dan mengarahkannya pada unsur keabadian (amata-
dhātu), yaitu, Nibbāna. “Jika ia kokoh dalam hal ini maka ia
mencapai Kearahantaan pada saat itu juga, tetapi jika ia
sedikit terhambat karena kemelekatan dan kegembiraan
dalam Dhamma, maka ia melenyapkan kelima belenggu yang
lebih rendah dan menjadi seorang yang muncul secara
spontan, yang mencapai Nibbāna akhir di sana (di alam surga)
tanpa pernah kembali ke alam ini.” [35]
Dengan demikian Mahāmāluṅkya Sutta mengatakan bahwa
pencapaian jhāna adalah bagian yang perlu dari praktik
persiapan untuk mencapai tingkat yang-tidak-kembali.
Walaupun sutta ini membahas praktik yang dijalankan oleh
seorang bhikkhu, karena Sang Budha telah menyatakan hal
ini sebagai “jalan dan praktik untuk meninggalkan kelima
belenggu yang lebih rendah,” kita dapat menyimpulkan
bahwa praktisi awam juga harus mengikuti jalan ini. Hal ini
menyiratkan bahwa seorang yang-kembali-sekali yang
bercita-cita untuk menjadi seorang yang-tidak-kembali harus
35