Page 148 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 148
Setelah berjalan lima puluh meter, kami tiba di kapal pesiar
dengan panjang dua puluh meter, berwana putih, gagah sekali
dengan dinding geladak depan bertuliskan Pasifik. Aku mem-
bantu Opa menaiki tangga kapal, Julia di belakang Om Liem.
Kami melintasi palka tengah, menuju bagian buritan, langsung
menemukan seseorang yang sedang asyik memasak sesuatu di
dapur kapal.
”Sore, Kadek,” aku menyapa.
”Eh, sore, Pak Thom. Kejutan, kenapa tidak bilang lebih dulu
pada saya?” Pemuda berusia tiga puluhan, yang bekerja di kapal
merangkap lima jabatan sekaligus: kapten, awak kapal, juru
masak, tukang bersih-bersih, sekaligus penjaga kapal, menyapaku
tertawa, sedikit terkejut.
”Darurat, Kadek. Aku baru setengah jam lalu memutuskan ke
sini.”
”Untung saja saya tidak sedang melepas sauh, Pak Thom.”
Kadek menggosokkan tangannya ke celemek, menyalamiku.
”Opa juga kemari?” Kadek menyeringai riang, menilik rombong-
an. ”Kebetulan sekali. Saya sedang masak sup kaki sapi, Opa.
Hujan terus dari siang, bosan saya. Mengantuk. Jadilah masak
saja.”
Opa sudah terkekeh, beranjak mendekat.
Kadek adalah peselancar tangguh, autodidak sejak kecil dari
menonton turis. Dia juga pandai mengemudikan speedboat, jago
memasak, dan telaten. Aku menemukannya saat menjadi
konsultan salah satu hotel bintang lima di Nusa Dua, Bali.
Kami lantas berteman baik. Aku menawarkannya pekerjaan yang
tidak mungkin dia tolak. Mengurus kapal pesiar milik Opa.
”Kau bebas membawanya ke mana saja. Terserah. Mau
146
Isi-Negeri Bedebah.indd 146 7/5/2012 9:51:09 AM