Page 152 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 152
”Sudahlah basa-basinya, Thom. Semua kesibukan, tegang,
panik ini tidak sebanding lagi dengan dua tiket berlibur yang
kaujanjikan. Aku akan menuntut lebih.”
Aku mengangguk—meski tentu saja Maggie tidak bisa me-
lihatnya. ”Update, Mag. Apa pun yang sudah kauperoleh empat
jam terakhir.”
Lampu merah, salah satu perempatan besar kota Jakarta ter-
lihat basah. Motor. Mobil. Ojek payung berlari-lari menyambut
penumpang yang turun dari bus. Pedagang asongan. Detik
hitung mundur berapa lama lagi lampu merah, terlihat dari balik
kaca mobil box laundry.
”Kau sudah membaca koran sore, Thom? Pasti belum. Mereka
meletakkan berita kemungkinan Bank Semesta ditutup di halaman
depan. Sebentar, satu, dua, ya, tiga koran sore melakukannya. Krisis
dunia, bla-bla-bla, kondisi terakhir perekonomian nasional, bla-bla-
bla, kemungkinan rush, panik bagi nasabah perbankan, bla-bla-bla,
sepertinya wartawan dan editor senior yang kita undang melakukan
pekerjaannya dengan baik. Aku yakin, besok pagi seluruh surat
kabar besar juga akan meletakkan berita ini di headline.”
Aku mengangguk lagi, masih mengamati detik countdown
lampu merah.
”Dua situs berita online juga mulai dipenuhi soal ini, Thom.
Mereka meletakkannya di baris paling atas, membuat topik
diskusi terkait. Sebentar, jumlah hit, sebentar, yup, masih di
nomor belasan sebagai topik paling sering dilihat. Tetapi cepat
sekali kenaikan hitnya. Aku pikir besok siang, atau malah besok
pagi sudah masuk sepuluh besar berita online yang paling sering
diakses. Jangan lupa, ini masih libur, jadi tidak banyak yang
online. Tiket konser itu sepertinya ampuh, Thom.”
150
Isi-Negeri Bedebah.indd 150 7/5/2012 9:51:09 AM