Page 187 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 187
borgol di belakang punggung. Percikan nyala apinya seperti petir
kecil yang menyambar tubuh. Rahangku mengeras, gigiku ber-
gemeletuk menahan sakit. Aku bertahan mati-matian tidak
berteriak. Satu, karena teriakan hanya akan mengundang rasa
jemawa dan kesenangan pada mereka; dua, sia-sia juga berteriak
di tengah suara sirene yang memekakkan telinga. Kalaupun ada
yang mendengar di luar sana, siapa pula yang akan peduli.
”Jangan main-main padaku, Thomas. Siapa kau sebenarnya?”
Aku mendongak, menggigit bibir, masih dengan sisa sakit
sengatan barusan, menggeleng pelan. ”Aku konsultan keuangan
profesional.”
Tangan orang itu kembali hendak menghunjamkan alat
setrumnya.
Mataku terpejam.
”Cukup, Wusdi. Kau akan membuatnya terkapar pingsan dan
kita kehilangan kesempatan untuk segera mengetahui posisi
Liem,” rekan di sebelahnya menahan. ”Lagi pula, sepertinya dia
berkata jujur.”
Aku—antara mendengar dan tidak kalimat itu—masih meng-
gerung menahan sakit. Tetapi aku belum pingsan, aku masih
lebih dari sadar untuk paham situasinya.
”Percuma,” aku berkata pelan, dengan suara bergetar.
Dua orang yang duduk di pojok mobil taktis polisi menatap-
ku.
”Percuma kalian memainkan peran polisi baik, polisi buruk,
good cop, bad cop.” Aku gemetar, berusaha menegakkan badan
dan kepala, berbicara dengan posisi lebih baik. ”Percuma... Jawab-
anku tetap sama, aku konsultan, konsultan keuangan. Tidak
lebih, tidak kurang, aku bekerja profesional.”
185
Isi-Negeri Bedebah.indd 185 7/5/2012 9:51:10 AM