Page 210 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 210
stabilitas sistem keuangan, ada satu bidak superpenting yang
harus kuamankan.
Aku menyisir rambut dengan jemari. Sebelum sore berganti
malam, sebelum rapat komite memutuskan, aku harus sudah
memastikan bidak superpenting ini bisa mengintervensi di detik
terakhir.
”Kau mau bergabung sarapan dengan kami, Tommi?”
Aku menoleh. Opa dengan tongkat di ketiak berdiri di pintu
menuju geladak, tersenyum.
”Kadek membuat nasi goreng spesial, Tommi. Kau pasti suka.
Semakin lama, kupikir masakan Kadek sama lezatnya dengan
masakan mamamu dulu.”
Aku balas tersenyum, mengangguk, menutup laptop, bangkit
dari kursi.
Apa salahnya sarapan sebentar bersama Opa? Setelah kejadian
tadi malam, rasa cemas Opa tidak tertolong. Apa salahnya aku
menghabiskan waktu setengah jam untuknya? Besok lusa kita
tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Entah apakah Bank
Semesta dan grup bisnis Om Liem hancur lebur, entah apakah
pemerintah memutuskan memberikan dana talangan dan Om
Liem terpaksa menyerahkan sebagian besar bahkan seluruh
sahamnya, setidaknya pagi ini aku punya waktu berharga
bersama orang-orang yang juga amat berharga. Sejak Papa dan
Mama hangus terbakar bersama rumah kami puluhan tahun
silam, hanya Opa dan Tante yang kumiliki.
Kecil sekali keluarga kami. Itu pun tetap kecil meski sudah
menghitung Om Liem.
Aku membantu Opa melangkah menuju dapur, dan segera
aroma masakan Kadek tercium lezat.
208
Isi-Negeri Bedebah.indd 208 7/5/2012 9:51:11 AM