Page 213 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 213
Om Liem terdiam, menelan ludah. Opa menghela napas.
Kami sudah hampir lima belas menit sarapan. Setelah semua
duduk di kursi, Kadek membagikan piring nasi goreng yang
mengepul, menguarkan aroma lezat, lantas dia cekatan mengisi
gelas dengan teh hangat. Sarapan dimulai. Opa bertanya dari
mana saja aku sepanjang malam. Aku menceritakan berbagai
kejadian, termasuk reuni dengan bintang tiga polisi dan jaksa
senior itu.
Satu-dua burung camar memekik nyaring.
”Cepat atau lambat, mereka akan menemukan kita. Di masa
lalu, mereka berdua tidak akan pernah berhenti sebelum tujuan
mereka berhasil, bahkan dengan cara-cara paling licik sekalipun.”
Om Liem bersandar pelan, setelah tawaku reda.
”Ya, kali ini aku sepakat denganmu. Mereka tidak akan per-
nah berhenti.” Aku mengangguk. ”Selain pertanyaan siapa orang
kuat di belakang mereka berdua, masih ada hal lain yang perlu
dicemaskan.”
Om Liem dan Opa menatapku.
”Ada pengkhianat di antara kita,” aku berseru datar.
”Astaga! Kau tidak sedang bergurau, Tommi?” Om Liem
hampir tersedak.
Aku menggeleng, menatap tajam Om Liem. ”Bukankah itu
jelas sekali. Kau seharusnya bisa menyimpulkan sendiri. Ada
yang memberitahukan banyak hal kepada dua orang itu, menjadi
mata-mata. Pengkhianat itu boleh jadi orang-orang yang kau-
percayai selama ini, letnan bisnis yang kaumiliki.”
Om Liem menepuk pelipisnya, tidak percaya.
Opa menggeleng. ”Kau berlebihan, Tommi. Kau keliru.”
”Aku tidak mungkin keliru, Opa, dan aku tidak pernah ber-
211
Isi-Negeri Bedebah.indd 211 7/5/2012 9:51:11 AM