Page 216 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 216
tapi kami belum menerima laporan bahwa Bank Semesta
bobrok, pemiliknya jahat, atau melakukan kecurangan.”
Aku bergumam lagi, sepertinya Erik dan temannya bahkan
sekarang terlalu serius mempermanis laporan paling mutakhir
Bank Semesta. Layar televisi sejenak masih memperlihatkan
belasan wartawan yang terus mendesak dan ajudan menteri yang
berhasil menyibak kerumunan. Ibu Menteri bergegas melangkah
masuk ke mobil. Pintu ditutup segera. Dia melambai meninggal-
kan halaman depan kantornya. Layar televisi kembali ke pem-
bawa acara.
Aku mengusap rambut dengan telapak tangan. Itu pernyata-
an menteri tadi malam, setelah konferensi pers yang juga di-
hadiri Julia. Pembawa acara yang selalu cantik dan tidak be-
perasaan itu—bahkan dalam berita paling buruk sekalipun dia
tetap semangat siaran—sudah asyik berbicara dengan pengamat
ekonomi terkemuka, membahas berbagai kemungkinan. Aku
sudah memindahkan saluran ke televisi lain, loncat satu per
satu, memeriksa headline berita pagi mereka. Aku menyeringai
tipis. Pertemuan kecil dengan belasan wartawan senior dan
kepala editor di salah satu restoran kemarin berhasil. Pagi ini
semua orang sibuk membicarakan kemungkinan dampak siste-
mis.
Koran pagi yang dilemparkan loper ke kapal juga dipenuhi
berita sama. Padahal pertanyaan yang paling penting, yang
justru seolah lupa mereka bahas adalah: di mana pemilik
Bank Semesta sekarang? Di mana Om Liem? Tidak ada yang
sibuk memuatnya, walau sepotong paragraf. Mereka lebih si-
buk membahas tentang kalimat sakti: bahaya dampak sistemis.
Esok lusa, ketika masalah Bank Semesta meletus bagai bisul
214
Isi-Negeri Bedebah.indd 214 7/5/2012 9:51:11 AM