Page 221 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 221
Kejam sekali kehidupan. Kejam sekali orang-orang itu.
Persis saat matahari pagi menerpa kota, setelah tetangga ber-
embuk satu sama lain—memastikan Papa dan Mama seratus
persen telah meninggal, ikut terbakar, kabar Opa dan Tante yang
berhasil lari tetapi tidak diketahui ke mana, berusaha meng-
hubungi Om Liem yang juga tidak jelas di mana, apakah masih
di pelabuhan, atau entahlah—mereka akhirnya memutuskan
mengirimku pergi ke kota lain. Ada kenalan yang menjadi peng-
ajar di sekolah untuk anak-anak yatim-piatu. Itu pilihan yang
paling aman, karena banyak petugas, dan orang-orang tidak di-
kenal masih berusaha mencari anggota keluarga kami yang
tersisa. Wajah-wajah sangar dan penasaran.
Aku diberikan bekal sekotak roti, tas ransel berisi pakaian,
hasil patungan tetangga.
Satu-dua ibu-ibu tetangga memelukku, menangis, berbisik ten-
tang esok lusa semua akan kembali baik, esok lusa semua akan
pulih, janji-janji masa depan. Aku mengangguk datar, bilang,
”Saya akan baik-baik saja, Ibu.” Dan mereka tambah keras
menangis. Aku diantar ke stasiun kereta, membawa selembar
tiket, duduk rapi, menatap rumah-rumah, bangunan, dan pohon-
pohon berbaris seiring roda baja kereta berderak berangkat.
Satu hari sejak kejadian, aku resmi tinggal di sekolah ber-
asrama.
Meninggalkan jasad Papa dan Mama yang menjadi abu.
Pengajar sekolah berasrama menghapus riwayat hidupku. Ti-
dak ada lagi nama keluarga di namaku. Hanya satu kata Thomas,
isian berikutnya hanya: anak yang ditemukan di jalanan, tidak
diketahui bapak-ibunya.
Mulailah kehidupan baruku. Makan dijatah, tidur di ranjang
219
Isi-Negeri Bedebah.indd 219 7/5/2012 9:51:11 AM