Page 224 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 224
Usia dua puluh dua, satu minggu sebelum keberangkatanku
kuliah di sekolah bisnis, Opa memintaku menemaninya pergi ke
Pelabuhan Sunda Kelapa.
”Ini kapalmu, Tommi.” Opa terkekeh saat melihatku bingung.
Aku menoleh, bolak-balik, ke wajah Opa dan ke kapal besar
yang merapat anggun di dermaga.
”Kau boleh memberinya nama apa saja, Tommi.”
Aku menelan ludah. ”Opa tidak sedang bergurau, bukan?”
Opa tertawa lagi.
Opa selalu baik padaku. Meski Papa dulu berkali-kali me-
maksakan pemahaman bahwa tidak ada hadiah untuk Tommi
kalau dia tidak bekerja keras di rumah, Opa selalu memberiku
hadiah spesial, amat dermawan.
”Berapa usiamu sekarang? Dua puluh dua, bukan? Waktu
Opa seusiamu sekarang, Tommi, Opa persis berada di perahu
kayu yang sempit, terombang-ambing melintasi lautan bersama
belasan pengungsi, berusaha mencari negeri yang lebih baik.”
Aku mengangguk. Opa sepertinya kembali bercerita tentang
masa lalunya.
”Lihatlah, kau jauh bernasib baik, anakku. Kau tumbuh men-
jadi anak muda yang pintar, gagah, penuh kesempatan. Apa
nama sekolah bisnismu itu? Astaga, Opa dengar, hanya orang-
orang paling pintar di dunia yang bisa sekolah di sana.”
Aku tertawa pelan, tidak menanggapi gurauan Opa, konsen-
trasi mengemudi kapal.
”Waktu itu,” suara Opa terdengar pelan, sedikit bergetar, ”Opa
tidak takut mati, Tommi.”
Aku menoleh, sepertinya ada yang berbeda dengan cerita Opa
kali ini.
222
Isi-Negeri Bedebah.indd 222 7/5/2012 9:51:11 AM