Page 223 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 223
dua kali berkunjunglah melihat kami, Tommi. Opa akan senang
sekali jika kau melakukannya.”
Aku mengangguk mantap. Hanya Tante yang terus keberatan.
Dia masih terus mengunjungi setiap bulan, membawa pakaian,
makanan, apa saja yang membuatku nyaman tinggal di asrama.
Bagiku, dia menjadi pengganti Mama yang baik.
Di penghujung tahun ketiga, libur panjang, dengan membawa
ransel aku pergi ke rumah Opa. Itu kunjungan pertama. Bukan
rumah yang di Jakarta, tapi yang di Waduk Jatiluhur.
”Kau benar-benar berubah, Tommi.” Opa memelukku, amat
riang dengan kedatanganku. ”Maksud Opa, lihatlah, kau ternyata
telah memotong rambut. Opa pikir kau akan terus membiarkan
rambutmu tumbuh berantakan sejak kejadian itu.”
Aku tersenyum, menatap wajah Opa yang semakin tua.
Sepanjang hari dia mengajakku melakukan apa saja. Belajar
menyetir mobil—aku membuat mobilnya menggelinding masuk
ke dalam waduk—belajar mengemudi speedboat, duduk men-
cangkung di atas kapal nelayan, memancing, atau duduk melurus-
kan kaki di belakang rumah sambil memainkan klarinet. Tertawa,
bergurau, dan tentu saja kebiasaan buruk Opa, menceritakan
masa mudanya, persis seperti kaset rusak. Membahas bisnis baru
Opa yang maju pesat—sebenarnya dia jauh lebih pandai berbisnis
dibanding memainkan alat musik.
Saat ulang tahunku yang kedelapan belas, Opa menghadiahkan
mobil balap itu. Aku tidak datang, bilang sedang ujian akhir.
Alasan sebenarnya adalah: Om Liem sudah keluar dari penjara,
bergabung kembali dengan keluarga. Aku tidak mau bertemu
dengannya. Aku hanya berkunjung ke rumah peristirahatan Opa
jika Om Liem tidak ada di sana.
221
Isi-Negeri Bedebah.indd 221 7/5/2012 9:51:11 AM