Page 225 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 225
”Apa pula yang harus ditakutkan anak muda yatim-piatu,
miskin, mengungsi dari perang saudara dan kemiskinan di darat-
an Cina seperti Opa? Mati boleh jadi pilihan terbaik. Semua
orang di dalam perahu nelayan itu juga tidak takut mati. Kami
senasib sepenanggungan. Berjudi dengan masa depan.”
Opa diam sejenak, menatap bintang-gemintang. Kapal yang
kukemudikan maju perlahan, membelah ombak, terus menuju
perairan Kepulauan Seribu.
”Badai, perahu kayu bocor, melintasi kapal perang Belanda,
ditembaki, kehabisan bekal dan air minum, semua biasa saja. Itu
makanan sehari-hari. Rasa-rasanya tidak ada cerita seram ten-
tang lautan yang membuat kami gentar. Hingga suatu hari, salah
satu nelayan yang membantu kami mengungsi bercerita. Itu
sungguh sebuah cerita yang membuat bulu kuduk merinding.”
Aku menoleh pada Opa, membiarkan kemudi terlupakan be-
berapa detik.
”Opa bahkan masih merinding saat mengingatnya, Tommi.”
Opa mengusap wajahnya.
Di luar kelaziman, aku kali ini benar-benar menunggu kalimat
berikut Opa, persis seperti pencinta cerita bersambung di koran-
koran yang tidak sabaran.
Sial! Opa ternyata hanya terkekeh, melambaikan tangan, kem-
bali dengan takzimnya menatap gelap yang menyelimuti lautan.
223
Isi-Negeri Bedebah.indd 223 7/5/2012 9:51:11 AM