Page 230 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 230
kantor konsultan profesional. Nah, boleh jadi aku memberikan
nasihat keuangan kepada perusahaan pesaing keluarga.”
Opa menatapku sebentar, lantas ikut tertawa. ”Kalau itu
sudah menjadi rencanamu, Opa tidak akan memaksa. Tapi se-
kali-dua, itu pun jika kau bersedia, bolehlah memberikan nasihat
yang baik pada kami, terutama pada ommu. Sejak kembali meng-
urus bisnis, dia seperti orang kesetanan, melakukan apa saja,
penuh ambisi.”
Aku menyeringai. ”Tidak ada yang bisa menasihatinya, Opa.
Dulu tidak, sekarang juga tidak.”
Opa manggut-manggut setuju, menatap lurus ke lautan yang
tenang sekali, bagai tak beriak. Pantulan purnama terlihat elok
di permukaan laut. Kapal terus melaju stabil, lengang sejenak.
Ini hari kesebelas perjalanan kami. Sudah setengah jalan me-
lewati rute pengungsian Opa dulu.
”Opa senang kau tidak tumbuh ambisius seperti om dan
papamu dulu, Tommi. Opa pikir kau jauh lebih arif, kau lebih
mirip dengan Opa.” Opa memecah senyap suara mesin dan
baling-baling kapal yang terdengar menderum samar dari balik
dinding kedap suara.
”Kejadian menyakitkan selalu mendidik kita menjadi lebih
arif. Kau dengan kematian papa dan mamamu. Dan Opa, waktu
Opa masih muda dulu, menumpang kapal kayu bocor itu, meng-
ungsi dari perang saudara, banyak kebijaksanaan hidup yang
Opa pelajari.”
Aku menyengir, ini untuk kesekian kali Opa mulai bertingkah
seperti kaset rusak.
”Opa sungguh tidak takut mati waktu itu, Tommi.” Opa terus
bercerita, tidak melihat seringai wajahku.
228
Isi-Negeri Bedebah.indd 228 7/5/2012 9:51:11 AM