Page 229 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 229
menumpang kereta. Dua hari satu malam, kau akan tiba di
Beijing, melewati kampung halaman leluhur kita. Kau mau terus
hingga ke sana?”
Aku tertawa, menggeleng. ”Itu berlebihan, Opa.”
Opa ikut tertawa, mengangguk.
Setelah berjam-jam puas menghabiskan waktu mengunjungi
setiap jengkal kenangan masa lalu, kami berlayar pulang ke arah
selatan, melewati rute yang dulu dilakukan Opa.
”Setelah semua sekolah itu, kau akan ke mana, Tommi?” Opa
mengajakku bicara, di malam kesekian. Purnama menghiasi
angkasa, terlihat khidmat dari atas kapal yang terus melaju.
”Bekerja seperti orang kebanyakan.” Aku belum menangkap
arah pembicaraan, asyik menatap layar navigasi.
”Maksud Opa, kau akan bekerja di mana? Kau tidak tertarik
bekerja di perusahaan keluarga?”
Aku menggeleng. Opa sudah tahu jawabannya, buat apa dia
bertanya?
”Kau tidak harus bekerja di perusahaan yang diurus Om
Liem, Tommi. Kalian bisa mengurus perusahaan yang ber-
beda.”
Aku tetap menggeleng.
”Kalian sudah lama sekali tidak bertemu, bahkan saling tegur
sapa pun tidak.” Opa menghela napas, menyerah. ”Kalau kau
bekerja di perusahaan orang lain, untuk anak muda secerdas
dirimu, boleh jadi kau malah membesarkan perusahaan pesaing
keluarga.”
”Aku akan membuka kantor sendiri.”
”Oh, itu lebih baik.” Opa senang mendengarnya.
Aku tertawa pelan. ”Lebih buruk, Opa. Aku akan membuka
227
Isi-Negeri Bedebah.indd 227 7/5/2012 9:51:11 AM