Page 228 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 228
kapal melaju cepat membelah ombak hingga 34 knot, terus ke
utara, kecepatan penuh menuju perairan Laut Cina Selatan.
Logistik penuh, peralatan navigasi canggih, dan tentu saja kapal
yang tangguh. Ini perjalanan yang menyenangkan.
Jika laut sedang tenang, kami makan malam di geladak, ber-
atapkan bintang-gemintang. Jika laut sedikit menggila, perkiraan
cuaca yang kami terima di layar kapal memberikan peringatan,
aku langsung memutar kemudi menuju kota terdekat, mampir
di Krabi Island, Thailand, misalnya.
”Hebat sekali.” Opa mengusap dahi, menatap ke luar kaca
jendela yang basah. Hujan deras, angin kencang, tapi kapal kami
sudah tertambat kokoh di salah satu resor di perairan Krabi.
Aku menoleh, duduk malas menatap lautan yang gelap.
”Kami dulu bahkan tidak tahu apakah akan ada badai atau
tidak. Hanya mengandalkan naluri nelayan tua di kapal. Se-
karang kita bahkan bisa tahu enam jam sebelumnya.”
Aku mengangguk, ternyata ”hebat” itu maksudnya. Sambil
bersiap memperbaiki posisi duduk, Opa rasa-rasanya akan kem-
bali mengulang cerita lamanya. Aku tidak pernah keberatan
memasang wajah takzim mendengarkan.
Tiga hari kemudian, meskipun terhambat badai kecil di Krabi
Island, kami tiba di pelabuhan kota kecil daratan Cina tepat
waktu. Opa turun dari kapal dengan menumpang sekoci kecil,
dan dia dengan wajah terharu menunjukkan semua potongan
masa lalu yang dia ingat.
”Kita bisa terus melalui jalan setapak itu, Tommi. Dulu kami
sembunyi-sembunyi melintasinya, pagi buta.” Opa menunjuk
jalan yang ramai oleh orang-orang setempat berdagang. ”Kau
berjalan terus satu jam, nanti kau tiba di stasiun tua, lantas
226
Isi-Negeri Bedebah.indd 226 7/5/2012 9:51:11 AM