Page 222 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 222
tingkat, berbagi kamar dengan belasan anak lain. Kabar baiknya,
sekolah berasrama itu hebat, aku punya teman senasib.
Enam bulan kemudian aku membaca kabar bahwa Om Liem
dipenjarakan. Beritanya ada di koran, nyempil di halaman dalam,
tidak mencolok. Satu tahun berlalu, aku tetap tidak tahu kabar
Opa dan Tante.
Usiaku dua belas, barulah aku tahu kabar mereka.
Waktu itu aku baru saja selesai ujian akhir. Guru pengawas
bilang ada seseorang yang ingin bertemu, mendesak, mengizinkan-
ku meninggalkan kelas sebentar. Aku berjalan ragu-ragu menuju
ruangan kepala sekolah. Dua tahun terakhir, aku selalu cemas
bertemu dengan orang asing. Jangan-jangan mereka orang jahat
yang dulu membakar rumah kami.
Pintu ruangan kepala sekolah dibuka, Tante berdiri dengan
mata berkaca-kaca. Aku tertegun. Tante sudah loncat, memelukku
erat-erat, menangis. Tante bilang, dia, Opa, bibi, semua yang ber-
hasil lari pindah ke Jakarta. Dengan uang tabungan milik Opa,
dibantu karyawan gudang yang masih setia, mereka mengontrak
rumah dan memulai bisnis baru. Tante menceritakan banyak hal,
membuatku terdiam lima belas menit kemudian.
Tetapi aku menggeleng saat Tante mengajakku pulang.
Inilah keluarga baruku sekarang. Sekolah berasrama. Aku
akan menamatkan sekolah di sini. Melupakan banyak hal. Lebih
dari tiga kali seminggu kemudian, Tante bolak-balik ke sekolah,
membujukku. Di kunjungan ketiga, dia datang bersama Opa,
bibi, semua orang-orang yang kukenal, berusaha membujuk.
Jawabanku tetap tidak.
Opa tersenyum, mengacak rambutku yang tidak pernah ku-
potong sejak kejadian rumah kami dibakar. ”Kalau begitu, sekali-
220
Isi-Negeri Bedebah.indd 220 7/5/2012 9:51:11 AM