Page 238 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 238
”Satu lagi adalah seekor sapi perah yang gemuk.” Pembawa
acara tertawa.
Penonton di studio ikut tertawa.
”Ayolah,” pembawa acara mengangkat bahu, ”saya tidak ber-
gurau. Sungguhan seekor sapi. Kami menyediakan truk besar
untuk membawanya pulang nanti.”
Penonton di studio tertawa lagi, finalis kuis manggut-manggut
tertawa pelan.
Aku ikut tertawa, meletakkan garpu ke atas piring—pem-
bantu rumah Opa memasak menu lezat untuk menemani malam
santai. Di sekolah berasrama jangankan menonton, televisi satu
pun tidak ada di sana. Terlepas dari fakta itu, aku segera me-
ngerti, pantas saja Opa suka menonton acara kuis ini, menarik.
Lihat, Opa sudah terkekeh di sebelahku.
Pembawa acara mengangkat tangan, menyuruh penonton di
studio diam sejenak. Musik latar terdengar lebih cepat. ”Nah,
sayangnya, pemirsa di rumah dan hadirin di studio, satu layar
lagi, tentu saja, menutupi sebuah kotak sampah.” Layar televisi
besar segera menunjukkan kotak sampah berwarna kuning yang
sering kalian lihat di trotoar jalanan.
Penonton di studio tertawa—meski tidak sekencang soal sapi
tadi.
Finalis kuis tersenyum—meski senyumnya sekarang terlihat
kecut.
”Baiklah, mari kita bermain. Anda pilih layar yang mana,
Bung?” Satu, dua, atau tiga?” Amat bergaya pembawa acara me-
nawarkan kesempatan pertama kepada finalis.
Permainan babak terakhir telah dimulai.
Lima menit berlalu tegang. Finalis memilih layar satu.
236
Isi-Negeri Bedebah.indd 236 7/5/2012 9:51:11 AM