Page 240 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 240
belakang studio yang tahu. Bahkan keputusan di mana mobil
itu berada, baru dilakukan beberapa menit sebelum babak bo-
nus. Nah, karena saya tidak tahu, semua orang di sini juga
tidak tahu, saya akan memberi Anda kesempatan menukar
pilihan. Tetap di layar nomor satu? Atau pindah ke layar no-
mor tiga?”
Aku menelan ludah, benar-benar melupakan makanan lezat
di atas piring—padahal makanan di sekolah asrama tidak pernah
selezat ini. Mataku sempurna tertuju ke layar kaca.
”Tetap di layar satu atau pindah ke layar tiga?” Pembawa
acara mendesak, mengulangi pertanyaan kesekian kali. Sudah
dua menit berlalu tanpa keputusan.
”Pindah.” Terdengar jawaban mantap. Tetapi itu bukan
jawaban finalis kuis. Itu suara Opa di sebelahku.
Aku menoleh, menatap wajah Opa yang terlihat begitu yakin.
”Kalau kau dalam situasi seperti ini, kau akan pindah, Tommi,”
Opa menjawab santai.
”Bagaimana Opa tahu?”
”Pindah saja. Insting.”
”Tapi Opa tidak tahu di mana mobilnya, bukan?”
”Karena itulah. Ketika tidak ada yang tahu, permainan ber-
jalan adil dan sebagaimana mestinya, maka seorang penjudi
ulung, seorang petaruh berpengalaman akan memilih pindah.”
”Kenapa?” aku mendesak.
Opa terkekeh. ”Mana Opa tahu, Tommi. Itu hanya naluri,
sekadar insting seorang petaruh.”
Waktu itu umurku menjelang empat belas tahun. Aku tidak
paham naluri dan insting yang dikatakan Opa—meski aku tahu
sekali, sejak memutuskan mengarungi lautan, mengungsi dari
238
Isi-Negeri Bedebah.indd 238 7/5/2012 9:51:11 AM