Page 137 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 137

nama Engtay bersiap menjemput kematian, saat  itulah tiba-tiba  pintu gerbang Istana

               Terlarang berdebam terbuka.


               Engtay berlari, berseru tertahan, “Aku mohooon. Hentikan!”


               Gerakan  tangan  Ketua  Partai  Bulan-Anggrek  terhenti.  Cahaya  jingga  maut  yang  tadi

               bersinar  memedihkan  mata  dari  tangannya  meredup.  Para  prajurit  penjaga  gerbang

               menatap tidak mengerti. Apa yang hendak dilakukan calon mempelai Putra Mahkota?
               Bagaimana  mungkin  calon  permaisuri  mengenali  pemuda  gembel  ini?  Engtay  yang

               memakai pakaian kebesaran putri-putri Dinasti Tang sudah memeluk tubuh penuh luka

               Sampek. Menangis tersedu.


               “Maafkan aku, Engtay. Aku tidak bisa membawamu pergi!” Sampek berkata lirih dengan

               sisa-sisa tenaga, mukanya sembab oleh gumpal darah.


               Engtay berseru sendu. Memeluk Sampek lebih erat.


               “Aku  seharusnya  tidak  pernah  memintamu  datang.  Aku  seharusnya  tidak  pernah.

               Lihatlah!  Ini  semua  benar-benar  di  luar  kuasa  kita.  Ini  semua  sungguh  di  luar  kuasa
               kita.”  Engtay  tersungkur  menangis.   Berusaha  mengelap  gelimang  darah  di  wajah

               Sampek.


               Sampek tersenyum amat getir, “Kau tahu, kau hari ini terlihat cantik sekali. Meski aku

               lebih  suka  melihat  kepalamu  dulu  yang  botak.”  Tangan  Sampek  gemetar  berusaha

               membelai rambut kekasih hatinya yang sudah tumbuh sekian jengkal.


               Sayang, tubuhnya yang lemah terlanjur terkulai.


               Memutus pertemuan yang menyedihkan tersebut.


               Demi melihat mata Sampek terpejam, Engtay berseru tertahan. Mengguncang-guncang

               tubuh  membeku  itu.  Lantas  merintih  ke  kelamnya  langit,  “Apakah  kami  tak  diberi

               kesempatan, Budha Suci? Apakah kami tak pernah diberi kesempatan.”
   132   133   134   135   136   137   138   139   140   141   142