Page 141 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
        P. 141
     Seribu  prajurit  itu  berseru-seru.  Membuat  hingar-bingar  suasana  malam  di  padang
               rumput. Puluhan pendekar bayaran yang menyertai menyeringai satu sama lain. Kalau
               mereka berhasil menghabisi rombongan ini, itu berarti pundi-pundi emas mereka akan
               bertambah banyak.
               Maka tanpa banyak cakap, terjadilah  pertempuran hebat. Selusin  rahib suci  melawan
               kekuatan tak-terperikan. Ribuan anak panah melesat, ratusan pedang terhunus, cahaya
               biru,  hijau,  merah,  kuning  menghajar  ke  sana,  kemari.  Berdentum.  Selusin  rahib  suci
               mengerahkan segala jurus pamungkas Biara Shaolin untuk menahan serbuan prajurit
               dan pendekar bayaran yang bagai air bah. Sementar Sampek dan orang tua renta yang
               dijemput berlindung dibalik sebuah batu besar.
               “Kenapa  kau menangis.“ Kakek renta yang digendong Sampek untuk pertama-kalinya
               sejak dua hari lalu dari Gunung Kwa Loon mengeluarkan suara.
               Suara yang terdengar bagai desau angin.
               Sampek mengangkat mukanya yang sejak tadi mengeluh. Menatap kosong wajah renta
               itu. Tertunduk lagi. Tidak memedulikan. Malam ini biarlah di tengah pesta pernikahan
               Engtay  di  ibukota,  di  tengah  ribuan  lampion  indah  yang  pasti  dipasang  menghias
               ibukota, biarlah hatinya menangis sendiri. Peduli apa kakek-renta ini dengan sedih di
               hatinya. Peduli apa bumi, langit dan seluruh isinya. Peduli apa Budha Suci atas takdir
               percintaannya yang menyakitkan.
               “Kenapa kau menangis?“ Kakek renta itu bertanya lagi.
               Sampek masih diam. Dua rahib suci sudah terkapar tak berdaya di depan mereka. Di
               pihak lawan, ratusan prajurit terpanggang pukulan pamungkas biara Shaolin, beberapa
               pendekar tertatih mencoba meneruskan pertempuran.
               “Malam ini indah sekali. Kau lihat, bulan sabit. Bintang-gemintang. Hanya pemuda amat
               malanglah yang menangis dengan pemandangan sehebat ini.” Kakek renta itu menatap





