Page 145 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 145

“Sembilan Naga Surga!” Sampek yang kehabisan tenaga jatuh terduduk. Mulutnya lirih

               mendesiskan nama jurus legenda terhebat yang pernah ada di dunia persilatan.


               “Kau salah, anakku.” Kakek renta yang tadi bersandar di bongkahan batu, kakek-renta

               yang  selama  ini  digendong,  mengambang  begitu  anggun  di  atas  kepala  Sampek.
               Tersenyum begitu getir. Menatap begitu sendu. Kosong.



               “Kau  salah,  anakku.  Ini  bukan  Sembilan  Naga  Surga.  Ini  adalah  Delapan  Belas  Naga
               Surga.”



               Dan  mendadak  selepas  raungan  kesedihan  panjang  tadi,  selepas  kalimat  kakek-renta
               itu, sempurna merekah dari langit delapan belas kemilau cahaya putih. Melesat dahsyat

               turun ke bumi. Delapan belas cahaya yang membentuk siluet naga. Begitu besar. Begitu

               menggetarkan. Begitu hebat!


               Naga-naga  itu  mengaum.  Raungan  yang  pilu.  Sahut-menyahut  dengan  bunyi  serunai

               yang semakin  menyesakkan. Rahib Penjaga Pagoda  jatuh terduduk, demi  Budha Suci,
               dia  tidak  pernah  tahu  legenda  jurus  itu  ada.  Bukan  sembilan,  delapan  belas  malah.

               Puluhan pendekar bayaran mencicit ketakutan. Belasan ribu prajurit yang tersisa diam
               tak bergerak.



               Dan dalam sekejap pertunjukan itu selesai. Delapan belas naga itu melesat bagai kilat
               menerabas prajurit-prajurit yang membeku. Menyapu bersih pendekar-pendekar yang

               gemetar. Sedetik berlalu. Tubuh-tubuh itu luruh ke bumi. Tanpa nyawa.


               Malam  itu  tidak  ada  yang  bisa  menceritakan  kembali  betapa  mengerikan  jurus  Naga

               Surga.  Hanya  Sampek  yang  sekarang  terlihat  gemetar  berusaha  berdiri.  Hanya  Rahib
               Penjaga Pagoda yang merangkak bergetar dengan luka di sekujur tubuh.



                                                           ***


               “Kau berjodoh denganku, anakku.” Kakek renta itu menatap wajah pucat Sampek.
   140   141   142   143   144   145   146   147   148   149   150