Page 147 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 147

ini. Ia tidak menginginkan singgasana. Ia tidak menginginkan tumpukan emas. Ia hanya

               ingin  sendiri  dengan  seluruh  luka  di  hati….  Kau  tahu,  anakku,  celaka  kalau  jurus  itu
               dikuasai  orang-orang  yang  masih  menginginkan  kekuasaan,  menginginkan  dunia  dan

               seisinya.”


               “Lihatlah,  Budha  Suci  mendapatkan  ilham  hebatnya  setelah  menjalani  kehidupan

               sederhana yang menyakitkan. Membuang jauh seluruh kecintaan akan dunia. Kesedihan

               yang terkendali sungguh bisa menjadi kekuatan tiada tara. Kesedihan yang terkendali
               bisa  membuat  hati  bersih,  hati  yang  siap  menerima  kabar  baik  langit,  termasuk

               kekuatan langit.”


               Angin padang berhembus pelan. Bunga rumput berwarna putih berterbangan. Satu-dua

               menerpa  wajah  Sampek  yang  diam  tertunduk.  Puluhan  burung  pipit  terbang

               berkelompok.


               “Kau pulanglah ke Biara Shaolin. Aku memutuskan tidak akan membantu!” Kakek-renta

               menatap Rahib Penjaga Pagoda.


               “Tapi….  Bagaimana  mungkin….  Kau  harus  membantu  kami!”  Rahib  Penjaga  Pagoda
               terbata, tidak percaya apa yang dia denga. Jelas-jelas Kepala Biara menyuruhnya pulang

               dengan membawa kakek tua renta ini.


               “Bukan  aku,  tapi  pemuda  ini.  Dialah  yang  akan  memperbaiki  banyak  hal.  Aku  sudah

               terlalu tua untuk mencampuri urusan dunia. Lagipula aku lebih suka menyepi, sendiri

               dengan  kesedihan  masa-laluku.  Satu  purnama  dari  sekarang,  pemuda  ini  akan  siap
               memimpin  pasukan  pemberontak.  Berdoalah  Budha  Suci  merestuinya.  Kau  tahu

               anakku, Naga Surga hanya bisa dipanggil oleh seseorang yang memiliki hati yang baik.
               Hati yang apa daya tersakiti oleh sesuatu. Tetapi hati itu tidak pernah membenci atas

               takdir menyakitkan tersebut. Tidak pernah.”


                                                           ***



               Satu purnama sempurna berlalu.
   142   143   144   145   146   147   148   149   150   151   152