Page 149 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 149

Malam  itu,  saat  perang  terakhir  siap  berkecamuk,  saat  perkemahan  pasukan

               pemberontak  tinggal  sepelemparan  batu  dari  gerbang  ibukota,  Sampek  memutuskan
               pergi  sendiri  menuju  Istana  Terlarang.  Akan  ada  banyak  darah  yang  tumpah,  ada

               banyak  rakyat  dikorbankan  jika  pertempuran  penghabisan  terjadi.  Sampek

               memutuskan menemui Raja Tang.


               Menawarkan kesepakatan.


               Bagi  Sampek,  masa-lalu  menyedihkan  itu  sudah  tertinggal  jauh  di  belakang  bersama

               tebasan pedang. Masa-masa indah bersama Engtay sudah lenyap tak bersisa bersama

               kepulan debu pasukannya. Setahun lebih memimpin pasukan pemberontak, malam ini
               kembalinya dia ke Istana Terlarang hanya untuk menyelamatkan nasib kerajaan. Kakek-

               renta  itu  mengajarinya  tentang  makna  kata  berdamai  dengan  masa  lalu.  Tidak  men-

               dendam apapun. Menerima apa-adanya.


               Pemuda gagah berwajah sendu berjalan gagah bersama selusin rahib suci Biara Shaolin

               menuju gerbang ibukota. Kabar tentang kedatangan Sampek yang hendak menawarkan
               kesepakatan menerabas cepat tembok Istana Terlarang.


               Seratus ribu pasukan terlatih penjaga Istana Terlarang memenuhi halaman. Raja Tang

               dan  Putra  Mahkota  duduk  di  singgasana.  Bersama  puluhan  petinggi  dan  kerabat

               kerajaan.  Bersama  pendekar-pendekar  ternama  yang  berada  di  pihak  mereka.
               Menunggu dengan tegang. Malam itu langit sempurna gelap dikungkung awan-hitam.



               Sampek penuh wibawa melangkah melewati halaman luas Istana Terlarang. Menyibak
               seratus ribu prajurit yang siap siaga menghunuskan pedang. Sampek melangkah ringan,

               bagai terbang menuju Aula Singgasana raja. Dia terlihat amat mengesankan. Lupakan
               Sampek yang dulu sering menangis, mukanya memang tetap sendu, tapi penampilannya

               sempurna sudah seperti raja hebat yang pernah dimiliki kerajaan daratan China.


               “Aku  hanya  berkata  sekali.  Kau  dengarkan  atau  tidak,  itu  akan  menentukan  nasib

               kerajaan ini.” Sampek menatap dingin Raja Tang. Tanpa sekali pun merasa perlu melirik

               Putra Mahkota yang duduk di sebelahnya.
   144   145   146   147   148   149   150   151   152   153   154