Page 55 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 55

Hari  demi  hari  berlalu,  bahagia  atau  tidak,  siklus  waktu  tetap  berputar.  Perut  Shinta

               semakin  membesar,  penduduk  padepokan itu diliputi  kegembiraan  mendengar kabar
               penghuni baru mereka akan segera melahirkan. Seorang ibu setengah baya membantu

               Shinta  melahirkan,  dua  orang  anak  kembar,  laki-laki,  tampan  seperti  Ayahnya—yang

               sama sekali tidak tahu anaknya lahir nun jauh di tengah hutan rimba. Shinta memberi
               nama kedua anak kembarnya: Lawa dan Kusa. Dia dengan air mata berlinang menciumi

               dua  bayi  yang  lahir  di  tanah  pembuangan  itu.  Berbisik,  semua  akan  baik-baik  saja,

               Ibumu dan kalian berdua akan kuat, Nak.


               Hari demi hari berlalu lagi, bahagia atau tidak, siklus waktu terus berputar. Meski masih

               sering mendesahkan kerinduan sambil menatap air terjun, dengan hadirnya si kembar,
               suasana  hati  Shinta  jauh  lebih  baik.  Dia  punya  kesibukan.  Dan  tanpa  terasa,  bagai

               sebutir  batu  jatuh,  waktu  berlalu  amat  cepat,  dua  anak  kembar  itu  tumbuh  sehat.

               Mereka  menjadi  anak-anak  yang  cerdas,  tidak  pernah  Resi  Walmiki  memiliki  murid
               sepintar mereka berdua, menguasai syair-syair panjang kebijaksanaan orang dewasa.

               Lawa  dan  Kusa  juga  tumbuh  menjadi  ksatria  yang  baik.  Sekecil  itu,  mereka  adalah

               pemanah terbaik di padepokan, melihat bakat hebat itu, Resi Walmiki menghadiahkan
               busur panah kembar dari Dewa Brahma. Itu bukan senjata mematikan dibanding busur

               Dewa Siwa milik Ayah mereka, tapi panah itu menyimpan rahasia tersendiri.


               Apakah keadaan Shinta membaik seiring anaknya tumbuh membanggakan, Cindanita?

               Sebaliknya, Shinta kembali termenung, menyendiri saat masa sepuluh tahun pengusiran
               itu hampir berakhir. Dia mulai sibuk memikirkan, apakah suaminya masih ingat istrinya

               yang terusir di hutan rimba? Apakah suaminya masih merindukannya? Shinta menyeka

               ujung  mata,  dia  tidak  akan  menangis,  sungguh  aku  tidak  akan  menangis,  oh  Ibu,  itu
               janjinya dulu.


               Tetapi saat masa pengusiran itu benar-benar habis, lihatlah, suaminya Rama ternyata

               tidak  kunjung  menjemputnya.  Duhai,  amat  menyedihkan  melihat  Shinta  berdiri

               termangu  sepanjang  hari,  menatap  pintu  gerbang  padepokan,  berharap  rombongan
               pasukan dari ibukota Ayodya datang menjemput. Satu derap suara langkah kaki kuda

               milik  penghuni  perkampungan  pun  sudah  membuat  Shinta  terlonjak,  apakah  itu?
   50   51   52   53   54   55   56   57   58   59   60