Page 92 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 92

“Berhenti!” J.P. Coen berteriak galak, “Atau koetembak kepala baboe hingga petjah.”

               Pemimpin  pemberontak  terkesiap.  Langkah  kakinja  terhenti,  itoe  golok  besar
               ditangannja menggantoeng. Tjelaka, dalam sitoeasi genting seperti itoe, hitoengan detik

               bisa amat penting. Beberapa serdadoe dan Meneer Belanda bergegas menjambar pistol

               mereka jang tadi dipaksa dijatoehkan. Pemimpin pemberontak terlambat menjadarinja,
               sitoeasi telah berbalik.



               J.P.  Coen  sambil  menjeret  Ibu  Itje,  bergegas  ke  loear  roemah,  dikawal  oleh  serdadoe
               Belanda  jang  mengatjoengkan  pistol.  Loncat  ke  atas  kereta,  lantas  menggebah  koeda

               agar berlari kentjang. Dor! Tidak loepa, governoer djenderal jang kedjam itu menembak

               Ibu Itje, melemparnya djatoeh ke bawah.


               Doea  belas  pemberontak  tidak  mampoe  berboeat  apa-apa.  Kedjadian  itoe  di  loear

               doegaan  mereka,  terdjadi  tjepat  sekali.  Dan  sebeloem  mereka  sempat  mengedjar,
               serdadoe Belanda dan Meneer lainja jang tersisa di roemah Meneer Van Houten sudah

               menembaki  mereka.  Pertempoeran  djarak  pendek  terdjadi.  Itoe  pemberontak  kalah

               djumlah. Sebelas pemberontak mati di tempat, kedok di wadjah mereka dilepas, besok
               toeboehnja digantoeng di halaman markas kompeni. Satoe orang pemberontak berhasil

               kaboer, itoelah Djalil, saksi mata dari pihak inlander.


               Rentjana  mereka  gagal  total.  J.P.  Coen  lolos,  dan  semakin  kedjam,  balas  liwat  aksi

               politioneel,  oentoek  memberantas  para  pemberontak  dan  maling-maling  rendahan.
               Djalil jang tersisa, beroesaha melanjoetkan misi itoe, tahoe posisinja semakin lemah, dia

               meroebah taktik, joesteroe mendaftar mendjadi tjenteng Meneer Van Houten.


               “Dengarkan akoe, Itje.” Kang Djalil berbisik keras, memboeat lamoenan Itje boejar.


               Itje menjeka oejoeng mata, dia selaloe menahan tangis setiap mengenang kedjadian itu.

               “Ibu kamoe mati demi tanah air kita, Itje. Ibu kamoe mati terhormat demi kemerdekaan

               bangsa kita. Djangan pernah mengasihani pendjadjah itu. Kamoe dengar?”


               Itje menganggoek.
   87   88   89   90   91   92   93   94   95   96   97