Page 96 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 96

Itje menghela nafas pelan, berusaha ikoet tersenjum, itoe soenggoeh rentjana indah.

               “Tapi, tapi akoe tetap takoet, Kang.”
               “Djangan takoet, Itje. Djangan biarkan ketakoetan datang menjergap hati.” Kang Djalil

               berbisik tegas.

               Hening lagi sedjenak di balik pohon beringin.
               “Kamoe  haroes tahoe, kamoe  gadis  jang pemberani Itje, kamoe  soenggoeh gadis  jang

               pemberani.  Apa  mereka  bilang,  Kang  Djalil,  tjenteng  paling  berani  di  Batavia,  Kang

               Djalil,  tjenteng  paling  djago,  tidak  takoet  mati.  Mereka  soenggoeh  keliroe,
               sesoenggoehnya,  Itje,  kamoe  oranglah  soember  keberaniankoe.  Kamoe  oranglah  jang

               memberikanku semangat oentoek meneroeskan rentjana ini. Djadi djangan takoet, Itje,

               demi akoe, Kang Djalilmoe.”
               Gadis  beroesia  enam  belas  tahoen  itu  mengangkat  kepalanja,  menjeka  pipinja  jang

               basah oleh air mata. Beloem pernah dia disanjoeng begitoe tinggi. Apalah artinja dia,

               hanja baboe rendahan, tapi malam ini, tambatan hatinja, tjenteng kasar paling ditakoeti
               di seloeroeh Batavia, telah memoedjanja begitoe tinggi. Mendjanjikan banjak hal.

               “Aku, aku takoet kehilangan Kang Djalil.” Itje berseroe lirih.

               Kang  Djalil  tersenyoem  lemboet,  menepoek-nepoek  bahoe  Itje,  “Akoe  akan  baik-baik
               sadja, Itje. Kita akan baik-baik sadja. Kalaupoen hal boeroek itoe terdjadi, maka itoelah

               harga sebuah perdjoeangan. Tjinta soetji kita haroes toendoek pada itoe tjinta jang lebih
               besar.  Demi  kemerdekaan  bangsa  ini,  demi  kebebasan  tanah  air  kita.  Akoe,  kamoe

               orang, kita semoea haroes bersedia mengorbankan djiwa raga oentoek itoe. Demi anak

               tjutju  kita.  Demi  hidoep  masa  depan  jang  lebih  baik.  Tjinta  sutji  kita  tidak  ada  apa-
               apanya dibanding itoe semoea. Kamoe paham, Itje?”

               Itje menganggoek, setetes air matanja jatoeh.

               “Itje mentjintai Kang Djalil.”
               “Kang Djalil joega mentjintai, Itje.”

               Malam itu, wahai pembatja jang boediman, empat puluh delapan djam sebeloem aksi
               paling heroik jang pernah ada di tanah Batavia. Malam itu, empat puluh delapan djam

               sebelum pengorbanan gadis moeda bernama Itje Noerbaja. Sedjarah memang loepoet

               mentjatatnja, tidak ada jang tahoe, tapi tjerita ini akan membekukannya.
               Tidak ada jang mentjolok doea hari berlaloe, selain itoe koki nomor wahid akhirnja tiba.

               Laki-laki  parlente  nan  netjes  dari  Paris,  oesianja  baroe  tiga  poeloehan,  perloe  empat

               kereta  koeda  hanja  oentoek  membawa  peralatan  memasaknja  sadja,  beloem  lagi
   91   92   93   94   95   96   97   98   99   100   101