Page 95 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 95

Malam ini, tinggal doea hari lagi itoe djamoean makan malam. Bisa dibilang kerdja keras

               Nyonya Rose patoet diatjoengi djempol—meskipoen jang bekerdja keras tentoe sadja
               baboe-baboe dan katjoeng rendahan.

               Lihatlah,  bahkan  halaman  belakang  roemah  dipenoehi  oleh  lampoe-lampoe  teplok,

               memboeat  indah  soeasana.  Joega  halaman  depan,  pagar  roemah,  semoeanja  meriah,
               terang.  Apalagi  di  roeang  makan,  roeangan  paling  loeas,  Nyonya  Rose  bahkan

               memasang lampoe petromaks besar model terkini, itoe lampoe dibawa langsoeng dari

               Malaka,  lagi  trend  berat  di  sana,  konon  digoenakan  gedoeng-gedoeng  pertoenjoekan
               dan tempat bangsawan berdansa.

               Sementara  Nyonya  Rose  makan  malam  bersama  Meneer  Van  Houten,  senang

               membayangkan djamoean hebat doea hari lagi, membitjarakan tentang gaun dansa jang
               akan dipakainja, setelan netjes mahal Meneer jang baru datang dari London. Sementara

               itoe,  Itje  joega  sedang  bertemoe  dengan  Kang  Djalil  di  balik  pohon  beringin,

               membitjarakan hal penting, mendjaoeh dari baboe lain.
               “Kamoe  djaga  baik-baik  botol  itoe,  Itje.  Itoe  botol  berisi  racoen  mematikan,  soesah

               sekali didapat.” Kang Djalil berbisik.

               Itje gemetar menangkoepkan djemari, menggenggam botol, menganggoek. Ketjil sekali
               botol ini, tapi membajangkan akibatnja, besar sekali kengerian jang muntjul di wadjah

               Itje.
               “Ini pertemoean kita terakhir kali sebelum loesa malam djamoean itoe diadakan. Kamoe

               ingat apa jang haroes dilakoekan?” Kang Djalil menatap Itje penoeh penghargaan.

               Itje mengganggoek, keningnja berpeloeh, padahal oedara malam terasa dingin.
               Hening sedjenak di balik pohon beringin.

               “Akoe takoet, Kang.” Itje berbisik.

               “Tidak ada jang perloe ditakoetkan, Itje. Semoea akan berdjalan sesoeai rentjana. Hanja
               tiga  hari  dari  sekarang,  di  pagi  harinya,  serdadoe  kompeni  baroe  menjadari  kalau

               seloeroeh petingginja telah mati binasa. Governoer djenderalnya  kita  tahan. Persis  di
               hari  keempat,  sisa-sisa  pasukan  pemberontak  akan  menjerbu  Batavia,  mereboet

               benteng-benteng kompeni, membangoen kembali kedjayaan Jayakarta. Di hari kelima,

               bangsa  kita  telah  bebas  dari  pendjadjah,  bebas  dari  penghinaan  mereka.  Di  hari  ke
               enam, akoe akan mendatangi bapakmoe, melamarmoe, Itje. Dan di hari ke toejoeh dari

               sekarang,  kita  akan  menikah,  mendjadi  soeami,  isteri  jang  berbahagia.”  Kang  Djalil

               tersenyum menjakinkan.
   90   91   92   93   94   95   96   97   98   99   100