Page 123 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 123
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
Meskipun begitu, menjelang akhir 1906 kelangsungan hidup
Bintang Hindia terlihat tak jelas. Pada Agustus 1906, surat edaran 6
November 1905, yang meminta para pejabat pemerintah menyokong
majalah ini telah ditarik, begitu pula fasilititas bebas biaya pos. Abdul
Rivai, pemimpin redaksi yang melakukan sebagian besar tugasnya di
Belanda, sudah makin sibuk dengan studinya. Apalagi timbul
perselisihan antara Rivai dan Brousson mengenai orientasi yang harus
dipilih Bintang Hindia. Rivai ingin isi majalah ini berwatak politis dan
menggunakan bahasa yang dekat Melayu Rendah. Keluarnya Rivai dari
jajaran dewan redaksi pada Juni 1907, untuk berkonsentrasi pada studi
kedokterannya, merupakan akhir dari Bintang Hindia yang edisi
terakhirnya terbit pada 15 Juni 1907. Karena Brousson belum bisa
melunasi pinjaman dari pemerintah, ia pun menerbitkan Bandera
2
Wolanda pada 1908 sebagai pelanjut Bintang Hindia .
Masih dalam suasana peralihan, di Sumatera Barat terbit
majalah bulanan bernama Insulinde pada tahun 1901. Nama Insulinde
diambil dari sebuah organisasi sosial. Majalah bulanan ini dipelopori
oleh kaum terpelajar di Sumatera Barat. Isi dari majalah Insulinde
3
adalah ide-ide Kemajuan. Guru-guru kaum terpelajar di kota Padang itu
adalah orang-orang Belanda di sekolah Raja (kweekschool) di Bukitinggi.
Salah satu guru Belanda itu bernama van Ophuysen yang juga fasih
berbahasa Melayu. Ketua redaksi majalah Insulinde adalah Dja Endar
Muda yang lahir pada tahun 1861 merupakan seorang wartawan
keturunan Tapanuli yang juga telah menerbitkan surat kabar Pertja Barat
4
dan sebuah bulanan yang berbahasa Batak. Dalam beberapa tahun
kehadiran organisasi Insulinde menjadi penerus dalam mengawal proses
penyadaran kebangsaan. Insulinde memiliki majalah dan namanya sama
dengan nama organisasinya. Ide-ide kemajuan dimuat dalam majalah
tersebut.
Rivai terpilih menjadi anggota Volksraad pada 1918, menjadi
wakil dari organisasi Insulinde. Masuknya Rivai ke dalam Volksraad
tidak lepas dari provokasi koran Belanda yang menyebut bahwa
seseorang yang disanjung-sanjung harus menduduki kursi dewan. Rivai
sebenarnya sudah nyaman menjadi dokter di Surabaya dan membantu
organisasi Insulinde. Namun karena ingin membuktikan bahwa inlander
itu bukan lagi bangsa yang terbelakang dan bukan lagi yang bisa
dibodohi, ia aktif di organisasi tersebut.
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya 115