Page 133 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 133
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
manisnya kemerdekaan yang sama yang sedang dinikmati Soewardi,
telah dirampas oleh pemerintah.
Dua hari kemudian, pada 28 Juli 1913 Soewardi menulis lagi
sebuah artikel di dalam surat kabar “De Express”. Artikel itu ditulis di
dalam bahasa Belanda, berjudul ”Ook Allen Voor Een” (“Satu Untuk
Semua, Tetapi Juga Semua Untuk Satu”). Dalam karangannya ini,
Soewardi menyatakan bahwa tulisannya berjudul “Als Ik Eens Nederlader
Was…” merupakan gambaran dari perasaan hatinya. Soewardi yakin
bahwa bukan ia saja yang mempunyai perasaaan demikian. Sebagian
besar memang berdiam diri, tetapi di dalam dada masing-masing, pasti
juga merasakan seperti apa yang telah dirasakan Soewardi bersama
kawan-kawannya. Douwes Dekker pada waktu itu baru saja datang dari
negeri Belanda. Dalam akhir tulisan, ia mengajak bangsanya untuk tetap
tenang dan selalu siap dalam menghadapi segala kemungkinan.
Soewardi percaya bahwa Comite Boemi Putra akan terus
memperjuangkan cita-citanya. Tulisan itu diakhiri dengan pernyataan:
“Kita haroes mempoenjai kekoeatan dan kepribadian dalam menghadapi
perdjoeangan nasional ini. Djika tidak, maka selamanja saudara-saudara
18
akan tetap mendjadi boedak! Lepaskan diri dari perboedakan ini!” .
Setelah membaca tulisan kedua kawannya itu, Douwes Dekker
menulis pula di dalam surat kabar “De Express”. Dalam tulisannya, yang
berjudul “Pahlawan Kita Soewardi Soerjaningrat dan Tjipto
Mangoenkoesoemo”, ia memuji kedua sahabatnya itu. Pemerintah
Hindia Belanda melarang Comite Boemi Poetra mengadakan kegiatan
apapun. Semua isi berita dalam surat kabar di seluruh wilayah Hindia
Belanda mendapat pengawasan dan dilarang menyiarkan peristiwa-
peristiwa yang dianggap merugikan pemerintah dan hanya berita resmi
pemerintah sajalah yang boleh disiarkan. Akibatnya, semua berita
menjadi ‘kabur’ dan menyangsikan karena pemerintah menempatkan
diri di pihak yang benar. Walaupun demikian, Comite Boemi Poetra
yang dilarang tidak berarti patuh pada larangan pemerintah itu. Dengan
caranya, Comite tetap melakukan gerakan, meskipun tidak secara
terang-tengan untuk membakar semangat bangsanya.
Tulisan “Tiga Serangkai” ternyata benar-benar menggelisahkan
pemerintah kolonial Belanda. Bayangan akan meletusnya suatu revolusi
menghantui pemerintah kolonial Belanda yang takut akan timbul
perlawanan rakyat. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya 125