Page 207 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 207
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
Komentar Sanusi Pane ini memperoleh tanggapan pula dari
Sutan Takdir Alisjahbana yang pada intinya menyatakan
ketidaksetujuannya jika dikatakan bahwa Barat lebih mementingkan
jasmani sedangkan Timur lebih mementingkan rohani. Menurut Sutan
Takdir Alisjahbana, orang yang tinggal di Timur maupun di Barat
sesungguhnya sama-sama mementingkan jasmani dan rohani. “Namun,
dalam hal jasmani orang Barat dapat mengalahkan orang Timur. Hal itu
disebabkan oleh perbedaan cara berpikir antara Barat dengan Timur,”
tambahnya sekaitan dengan komentar Sanusi Pane.
4.4.4 Polemik Mengenai Sistem Pendidikan
Polemik terakhir yang terjadi adalah polemik yang berkenaan
dengan pendidikan, suatu ranah dalam kehidupan yang sangat penting
dan sentral. Barang siapa menimbang pentingnya “pendidikan” niscaya
akan diingatkan bahwa pihak Belanda pun, melalui Politik Etis-nya juga
menempatkan pendidikan sebagai salah satu kebijakan yang paling
pertama dan utama. Bukan saja kebijakan dalam Politik Etis, pendidikan
memang adalah kunci suatu kemajuan. Tidak ada bangsa yang akan
maju sekiranya bidang pendidikan tidak memperoleh porsi yang utama
atau penting.
Kongres pertama Permusyawaratan Perguruan Indonesia
berlangsung di Solo pada tanggal 8, 9, dan 10 juni 1935. Dari jalannya
kongres, Sutan Takdir Alisjahbana mencatat bahwa kongres ini dapat
dikatakan berhasil namun beberapa catatan telah dibuatnya. Yang
pertama adalah mengenai terlalu “berhati-hatinya” para penyaji kertas
kerja dalam menguraikan pikiran-pikiran mereka. Bagi Sutan Takdir
Alisjahbana, kehati-hatian itu perlu namun orang yang sangat berhati-
hati lebih banyak akan mengalami kekalahan dibandingkan dengan
orang yang berani mengambil risiko.
Kehati-hatian dalam pengertian Sutan Takdir Alisjahbana lebih
dikaitkan dengan kecenderungan yang serba “anti”, yaitu “anti-
intelektualisme”, “anti-individualisme”, “anti-egoisme”, dan “anti-
materialisme” yang mendominasi isi makalah para pemrasaran. Dalam
penilaiannya, Drs. Sigit menunjukkan anggapan bahwa pengetahuan itu
adalah kekuatan berbahaya yang mempunyai daya anarkis yang
diakibatkan oleh pikiran liberal, bahaya pendidikan yang individualistis,
dan bahaya yang terlalu mengedepankan hak individu.
Sementara penilaiannya atas Ki Hadjar Dewantara adalah pada
penekanan mengenai lamanya belajar di sekolah yang sebanyak 8 jam
yang akan melahirkan intelektualisme, namun juga akan menyebabkan
terpisahnya sekolah dari kehidupan keluarga, sehingga menjadi sia-sia
upaya untuk mendidik anak dengan budi pekerti. Demikian pula
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya 199