Page 78 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 78
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
Sementara itu, di kalangan STOVIA pun mulai bangkit untuk
mendirikan perkumpulan pelajar, meskipun dalam suasana kesukuan.
Pada 7 maret 1915, di Batavia Satiman Wirsandjojo, Kadarman,
Soenardi, dan para pemuda lainnya mendirikan Tri Koro Dharmo yang
berarti Tiga Tujuan Mulia (Sakti, Budi, Bhakti). Perkumpulan ini
bertujuan, pertama membentuk ikatan antara para pelajar bumiputera
pada sekolah menengah dan kursus pengetahuan kejuruan; kedua yakni
untuk menyebarkan pengetahuan bagi anggota-anggotanya; ketiga yakni
membangkitkan serta mempertajam perasaan untuk segala bahasa dan
kebudayaan Jawa serta menciptakan rasa persaudaraan di antara
berbagai suku yang terdapat di Pulau Jawa, Madura, dan Bali.
Namun, orang Sunda sebagai suku terbesar di Jawa Barat tidak
mau menerima pimpinan dari Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Para
18
pelajar Sunda, Bali, dan Madura merasa, bahwa Tri Koro Dharmo
menjadi monopoli suku Jawa. Menguatnya gagasan untuk mewujudkan
kebudayaan Jawa Raya yang meliputi juga kebudayaan suku-suku,
selain suku Jawa, telah mendorong diselenggarakan Kongres pada 12
Juni 1918 di Solo. Hal ini dilakukan untuk mengakomodir daerah asal
semua pelajar yang mendukung perubahan nama dari Tri Koro Dharmo
menjadi Jong Java.
Kongres ini berharap menemukan pemecahan masalah, sehingga
para pelajar Sunda, Bali, dan Madura dapat segera menjadi anggota dari
organisasi baru tersebut, karena mereka memiliki latar belakang budaya
yang sama. Tujuan dari Jong Java, yakni: Pertama, mengadakan latihan
bagi calon-calon pemuka nasional. Kedua, Memupuk cinta tanah air
harus menjadi dorongan, karena tanah air kekurangan pimpinan yang
cakap. Ketiga, berusaha untuk menarik perhatian umum pada
perkembangan kebudayaan Jawa. Keempat, mempertebal persaudaraan
19
di antara semua suku bangsa Indonesia yang hidup di sini .
Dalam prakteknya, hanya sebagian kecil para pelajar dari
daerah-daerah lain menggabungkan diri ke dalam Jong Java. Pada
hakikatnya, para pelajar Jawa merupakan mayoritas dari seluruh
anggota perkumpulan tersebut. Di Solo, pada 1919 diadakan kongres ke
II yang dihadiri sejumlah besar para pelajar Jawa Tengah dan Jawa
Timur dengan agenda persoalan semi politik. Pembahasan masalah ini
hendak menunjukkan dalam tubuh Jong Java masih terkandung
perasaan kuat dalam menumbuhkan rasa persatuan antar suku-suku
bangsa di Hindia. Namun, salah satu pembahasan yang disampaikan
dokter Satiman Wirjo Sandjojo sebagai pembicara dalam konperensi
menekankan bahwa seolah-olah suku Jawa lebih tinggi dari suku
70 Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya