Page 66 - Majalah Peradilan Agama Edisi XI
P. 66
TOKOH KITA
itu. “Kalau memang disertasi saya
tidak selesai, ya sudah. Saya bukan
maqamnya jadi doktor,” kata Pak Edi.
“Oh jangan begitu, kamu teruskan,”
timpal Prof. Atho.
Pak Edi melanjutkan menggarap
disertasi. Tapi tak urung, deadline
penggarapan disertasi pun habis.
Ia dinyatakan Drop Out. Setelah
itu ia menghadap Prof Atho lagi. Ia
sampaikan bahwa disertasinya yang
berjudul “Dinamika Pemikiran
Mahkamah Agu ng” sudah habis
tenggat waktunya (deadline).
Tapi syukurnya, tidak lama
kemudian ada kebijakan dari kampus
UIN Jakarta bahwa mahasiswa paska
sarjana yang disertasinya sudah
asisten di Tim B. Setelah itu ia menjadi S3 nya di Universitas Islam Negeri selesai tapi deadline habis, dapat
asisten koordinator sampai tahun (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. mendaftar ulang sebagai mahasiswa
2007. Ada yang mengatakan Pak Edi salah baru. Pak Edi pun mendaftar ulang
Ketika ada pergantian Wakil Ketua strategi, termasuk almarhum hakim dan membayar sebagai mahasiswa
MA, Pak Edi berhenti menjadi askor. agung Prof. Dr. Rifyal Kabah. Hobi baru.
Memang de jure ia askor, tapi de facto membaca Pak Edi membuatnya ingin Tidak lama setelah mendaftar
tidak menjadi askor. Askor berganti memasukan semua hal baru yang menjadi mahasiswa baru, disertasinya
orang seiring pergantian wakil tadi. ia temukan ke dalam disertasinya. langsung diuji. Pak Edi pun lulus
Selama beberapa tahun ia tidak Alhasil, bahasan disertasi menjadi cumlaude.
menjadi askor, tidak juga menjadi tidak fokus, terlalu melebar. Ujung- “Karena sebagai mahasiswa
asisten. ujungnya, disertasi pun menjadi agak baru, saya jadi lulus cumlaude. Coba
Kebetulan ia pada waktu itu terbengkalai. kalau sebagai mahasiswa lama, tidak
sedang menyelesaikan kuliah. Jadi ia Kebetulan pula, ia memperoleh mungkin cumlaude,” seloroh Pak Edi.
memiliki cukup waktu luang untuk promotor yang super ketat, Prof. Dr. Dalam disertasinya, Pak Edi
menyelesaikan kuliah. Kemudian Atho Mudzhar. Banyak mahasiswa meneliti putusan waris. Bukan
Pak Edi diturunkan menjadi Hakim yang menghindar dipromotori hanya puluhan putusan waris
Tinggi di PTA Jakarta. Sebelumnya, tokoh mumpuni dan idealis seperti Mahkamah Agung yang ia kaji, tapi
pada tahun 2003 bersamaan dengan Prof. Atho. Jangankan promotor, ribuan. Tidak heran jika disertasinya
hakim agung Pak Mukti Arto, Pak Edi untuk sekedar kuliah saja ada yang menggambarkan dengan amat jelas
sudah berstatus Hakim Tinggi di PTA menghindar. Pak Edi justru setiap ada bagaimana dinamika pemikirian
Jakarta, hanya saja diperbantukan di mata kuliah Prof. Atho, selalu ikut. seputar hukum waris di Mahkamah
Mahkamah Agung. Ceritanya. satu bulan menjelang Agung. Menurutnya, jika ada perkara
Setelah turun menjadi hakim tinggi ujian, Pak Edi akan di-drop out (DO) di MA datang kepadanya, dalam
di PTA Jakarta, Pak Edi ditarik lagi ke dari kampus. Ia datang menemui Prof. waktu singkat ia akan dengan mudah
Mahkamah Agung. Kali ini menjadi Atho. “Wah kamu tidak bisa selesai saja memahaminya. Itu karena sudah
Panitera Muda Perdata Agama sejak 7 sebulan lagi. Nanti jangan jadi sarjana ribuan putusan yang ia baca dan kaji.
Juni 2011. cengeng. Kalau tinggal satu hari lagi Selama ujian Pak Edi tidak pernah
nangis-nangis di depan saya minta grogi. Kalaupun grogi, hanya satu
Studi S3 cumlaude tanda tangan,” kata Prof Atho waktu atau dua menit di awal-awal ujian.
Perjalanan Edi Riadi menyelesaikan itu. Disertasinya dikerjakan melalui
studi Doktoral (S3) nya penuh dengan Pak Edi menjawab bahwa ia penelitian lapangan. Jadi, di atas
liku. Hampir saja ia tidak tamat studi tidak termasuk mahasiswa seperti kertas, ia sangat menguasai materi.
64 MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 11 | April 2017