Page 383 - KIRIMAN CATATAN PRAKTIK BUDDHADHARMA DARI LAUTAN SELATAN
P. 383

Bab XL — Tindakan yang Tidak Dilakukan oleh Sesepuh Bajik


            ditinggalkan  di  hutan  berawa.  Pada  pagi  hari  di  hari  ketiga  beliau
            berjalan  mengikuti  arus  yang  jernih  lalu  duduk  dengan  tenang  di
            bawah sebatang pohon dedadu putih yang terisolir, di dekat alang-
            alang hijau yang melambai, dan beliau meninggal sambil memegang
            sapu  di  tangan.  Salah  satu  muridnya,  ahli  dalam  dhyana,  Hui  Li,
            bermaksud  menemui  gurunya  di  awal  pagi  hari.  Tetapi  apa  yang
            ditemuinya? Gurunya tidak bergerak. Hui Li mendekat dan menyentuh
            tubuh  gurunya  dengan  tangannya.  Dia  merasakan  kepala  gurunya
            masih  hangat,  tetapi  tangan  dan  kaki  sudah  dingin.  Dia  menangis
            dan  memanggil  semua  teman-temannya.  Saat  semua  berkumpul,
            para  biksu  menangis  dan  berduka  begitu  dalam,  sehingga  suasana
            kesedihan bagaikan sungai merah (secara harfiah: ‘sungai keemasan’)
            mengeluarkan  aliran  darah  di  atas  bumi.  Para  murid  awam  juga
            menangis terisak-isak, sehingga kerumunan yang kalut ini bagaikan
            permata-permata  di  gunung  berharga  yang  hancur  berkeping-
            keping. Alangkah  menyedihkannya pohon Bodhi  harus  layu  begitu
            cepat.  Alangkah  memilukannya  bejana  Dharma  harus  tenggelam
            begitu tiba-tiba. Beliau berusia 63 tahun dan dikebumikan di taman
            barat dari wihara. Apa yang beliau tinggalkan hanyalah tiga jubah,
            sepasang sandal dan sepatu, dan pakaian tidur yang dikenakannya.


                 Saat guru saya meninggal, saya berusia 12 tahun. Gajah Agung
            (yakni guru besar) telah pergi, saya kehilangan andalan.


                 Dengan mengesampingkan literatur sekuler, saya membaktikan
            diri  mempelajari  Kitab-Kitab  Pitaka.  Saat  berusia  14  tahun,  saya
            memasuki  Sangha.  Dan  saat  berusia  18  tahun,  saya  membulatkan
            tekad untuk berziarah ke India, namun itu baru terwujud ketika saya
            berusia 37 tahun. Sebelum berangkat, saya mengunjungi makam guru
            saya untuk memberi penghormatan. Waktu itu, dedaunan kering dari
            pohon-pohon di sekitar telah tumbuh mencapai setengah makam dan
            rerumputan liar memenuhi pusara. Meskipun kita tidak bisa melihat
            alam  lain,  tetapi  saya  memberi  penghormatan  kepadanya  seolah-


            suci bahkan hingga akhir hayatnya.


                                            369
   378   379   380   381   382   383   384   385   386   387   388