Page 153 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 153
uang sekolah anak-anaknya. Malom tidak mau bekerja. Dia lebih sering bermabuk-
mabukkan serta bermain perempuan di Distrik Yar. Harta adat mahar untuk Irewa
dijualnya satu persatu demi kepuasan dan kesenangan Malom. Irewa sebagai istri
kerapkali menjadi pelampiasan amarah Malom. Sekali waktu Irewa dipukuli
Malom dan tersungkur. Tak habis itu, Irewa masih ditendangnya berkali-kali.
Pasalnya karena Irewa memperoleh bahan makanan dari ladang hanya berupa ubi
jalar (betatas) kecil-kecil. Malom marah besar ketika Irewa menjawab pertanyaan
Malom dengan perkataan, “bahan makanan tidak datang dengan sendirinya, tetapi
semunya itu harus diusahakan (2015, hlm. 138).” Kemarahan Malom disebabkan
jawaban Irewa yang seperti menyindir dirinya yang tidak pernah bekerja untuk
memperoleh makanan bagi keluarganya. Karena orang-orang Papua yang masih
memegang adat dan tradisi menyatakan bahwa tugas laki-laki hanya berburu dan
berperang. Sedangkan adat dan tradisi tersebut sudah mulai banyak ditinggalkan
oleh kebanyakan lelaki Papua. Seiring perubahan zaman dan masuknya
modernisasi di Papua, mulai banyak lelaki Papua yang bekerja di perkantoran,
karyawan, pedagang, buruh, atau kuli.
Hidup Irewa semakin berat ditambah dengan segala aturan patriarki yang
harus dijalaninya. Bagi Irewa sudah menjadi takdir sebagai Istri Malom Woss,
meskipun terus dipaksa melahirkan karena Malom ingin memiliki banyak anaa,
terutam bayi laki-laki. Dari delapan kehamilan, ada empat bayi yang mati karena
keguguran, prematur, dan yang kekurangan gizi. Irewa melahirkan bayi-bayinya
dengan jarak yang cukup rapat, sedangkan tubuhnya kian melemah karena
melahirkan dan keguguran terus. Meskipun bersuamikan Malom yang berperangai
buruk, kebaikan Irewa semakin terpancar. Banyak dukungan ditujukan buat Irewa
dari orang-orang yang mencintainya, seperti Mama Kame, Jingi Pigay, dan Meage
yang diam-diam masih menanyakan kabar tentang Irewa kepada Jingi. Kondisi
Irewa yang ditindas Malom terus-menerus dengan berbagai hal, menandaskan
bahwa Irewa berada dalam ketidakadilan gender yang menurut Fakih (2013)
sebagai manifestasi gender dan kekerasan. Ini juga merupakan bagian dari kajian
feminis ideologis di mana perempuan dicitrakan sebagai mahluk lemah secara fisik
148