Page 164 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 164

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                    dan keadaan ruhani (ahwal) yang dialami seorang ahli suluk dalam upayanya
                                    mencapai Yang Satu.  Imaji atau citraan-citraan itu selain purbani juga universal.
                                    Pencitraan Dewa Ruci sebagai kembaran Bima memperlihatkan bahwa dalam
                                    psikologi sufi dan mistik Jawa dikenal dua jenis ‘diri’ (self), yaitu ‘diri jasmani’ yang
                                    direpresentasikan oleh Bima dan ‘diri ruhani’ (higher self) yang direpresentasikan
                                    oleh Dewa Ruci. Dalam tasawuf, ‘diri jasmani’ disebut nafs atau hawa nafsu.
                                    Karena menempati alam bawah (alam nasut) ia disebut lower self dalam bahasa
                                    Inggeris. Perjalanan ruhani seorang penuntut ilmu suluk, dilukiskan oleh Rumi
                                                                                                             32
                                    sebagai ‘perjalanan dari ‘diri’ ke Diri’, yaitu dari ‘diri palsu’ ke ‘Diri Hakiki’.
                                    ‘Diri ruhani’ disebut juga sebagai badan halus, tempatnya dalam tatanan wujud
                                    ialah di alam keruhanian (alam jabarut). Sedangkan ‘diri jasmani’ disebut badan
                                    kasar .


                                    Perjalanan mencapai ‘diri ruhani’ hanya bisa dilakukan oleh Bima dengan
                                    menyelam ke dalam lautan untuk mendapatkan air hayat. Dalam wacana sastra
                                    sufi, khususnya dalam filsafat mistik Ibn `Arabi, simbol lautan digunakan untuk
                                    menggambarkan ketakterhinggaan dan keluasan wujud Tuhan. Sastrawan sufi
                                    Melayu yang banyak menggunakan simbol ini ialah Hamzah Fansuri. Misalnya
                                    seperti dalam syairnya Bahr al-`Ulya atau Lautan Wujud Yang Maha Tinggi. Dalam
                                    syair itu  Wujud Mutlak dikiaskan sebagai Bahr al-`ulya (Lautan Maha Tinggi).
                                    Ia merupakan asal-usul segala kejadian, sebab salah satu dari tujuh sifat-Nya
                                    yang utama ialah Maha Hidup (al-hayy) yang memberikan hidup kepada segala
                                    sesuatu. Sifatnya yang lain ialah maha memiliki ilmu (`ilm) dan karenanya Maha
                                               33
                                    Tahu (`alim) . Tema serupa diuraikan dalam Dewa Ruci ketika Bima berjumpa
                                    Dewa Ruci, guru spiritualnya itu.

                                    ‘Air Hayat’ adalah simbol bawahan dari Lautan. Simbol ini dikenal di Nusantara
              ‘Air Hayat’ adalah    sejak masuknya agama Islam bersama tasawufnya. Dalam teks-teks Jawa Kuna,
             simbol bawahan dari    yang mewakili teks-teks paling tua di Nusantara, pemakaian simbol seperti itu
              Lautan. Simbol ini    tidak dijumpai.  Tamsil air hayat dalam sastra Nusantara dijumpai untuk pertama
             dikenal di Nusantara   kali dalam Hikayat Iskandar  Zulkarnain yang teks Melayunya telah ditulis pada
               sejak masuknya
                                                  34
             agama Islam bersama    abad ke-15 M ; kemudian dalam teks Jawa dan Melayu abad ke-16 M seperti
                 tasawufnya.        Serat Syekh Malaya Sunan Kalijaga dan  Syair Tauhid dan Makrifat  Hamzah
                                    Fansuri.

                                    Kata ‘air hayat’ adalah terjemahan dari kata Arab ma` al-hayat. Simbol atau
                                    tamsil ini digunakan untuk menyebut pengetahuan mistikal (ma`rifa) yang
                                    mengantarkan seseorang mencapai persatuan mistis dengan Tuhan (pamoring
                                    kawula gusti). Dengan bekal pengetahuan itu seseorang akan fana`(luluh dalam
                                    sifat ketuhanan)  dan  baqa’  (kekal dalam Yang Maha Abadi). Judul risalah
                                    tasawuf Nuruddin al-Raniri, ulama Aceh abad ke-17 M, memakai kata-kata itu
                                    untuk menerangkan pentingnya ilmu haqiqat atau makrifat.










                    150
   159   160   161   162   163   164   165   166   167   168   169