Page 165 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 165
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Adapun citraan simbolik sinar warna-warni yang memberikan hayat dan
kekuatan kepada kalbu, dapat dirujuk kepada psikologi Imam al-Ghazali. Kata ‘air hayat’ adalah
Khususnya dalam Ihya `Ulumuddin III, bab tentang keajaiban hati. Dalam kitabnya terjemahan dari kata
Arab ma` al-hayat.
itu Imam al-Ghazali menyatakan bahwa dalam bentuk dan susunannya tubuh Simbol atau tamsil
manusia itu mengandung empat campuran dan karenanya di dalamnya ada ini digunakan untuk
empat macam sifat, yaitu nafsu serigala (nafsu amarah), nafsu binatang (nafsu menyebut pengetahuan
syahwat), nafsu setani (nafsu lawamah) dan nafsu malaikat (nafsu sufiyah) dan mistikal (ma`rifa)
nafsu mutmainah (ketenangan) yang memancar dari sifat ketuhanan yang ada yang mengantarkan
dalam diri manusia. seseorang mencapai
35
persatuan mistis
dengan Tuhan
Ketika manusia dikuasai oleh nafsu amarah yang dilambangkan dengan warna (pamoring kawula
hitam, ia akan melakukan perbuatan serigala seperti senang akan permusuhan, gusti).
penuh kebencian dan sangat agresif kepada manusia lain. Ketika seseorang
dikuasai oleh syahwatnya, yang dilambangkan dengan warna merah, ia
akan melakukan perbuatan binatang seperti lahap, rakus, brutal dan senang
melampiskan nafsu berahinya. Selanjutnya begitu urusan ketuhanan meresap
ke dalam hawa nafsunya, maka ia akan menganggap dirinya sebagai Tuhan. Ia
mulai menyukai kekuasaan, keluhuran dan kebebasan, serta berkeinginan untuk
menguasai dunia demi dirinya sendiri. Inilah nafsu setani yang dilambangkan
dengan warna kuning. Nafsu sufiyah dan mutmainah dilambangkan dengan
warna putih. Jika manusia dikuasai oleh sifat-sifat ketuhanan (rabbaniyah),
kata Imam al-Ghazali, maka hidupnya akan dibimbing oleh ilmu, hikmah dan
keyakinan dan mampu memahami hakikat segala sesuatu. Ia akan mengenal
segala sesuatu dengan kekuatan ilmu dan mata hati. Akan memancar pula
darinya sifat-sifat yang mulia seperti kesucian diri, suka menerima apa yang
dianugerahkan kepadanya, tenang, zuhud, wara’, taqwa, selalu riang hatinya.,
gemar menolong, punya rasa malu dan rasa bersalah.
Hati orang yang telah diresapi sifat-sifat ketuhanan itulah, kata Imam al-Ghazali,
dapat disebut sebagai cermin cerlang yang memancarkan cahaya berkilauan. Hati orang yang telah
Di sini Imam al-Ghazali mengutip sebuah hadis dari Abu Mansur al-Dailani, diresapi sifat-sifat
“Apabila Allah menghendaki hamba-Nya mencapai kebaikan, akan didijadikan ketuhanan itulah,
kata Imam al-Ghazali,
kalbu baginya sebagai penasehat bagi dirinya.” Dewa Ruci sebagai guru dan dapat disebut sebagai
penasehat Bima dalam Serat Cebolek, adalah representasi dari kalbu yang cermin cerlang yang
dijadikan penasehat bagi seseorang yang telah mampu menundukkan hawa memancarkan cahaya
nafsunya. berkilauan.
Penggunaan tamsil-tamsil berkenaan dengan cahaya, kekosongan dan lain
dalam kisah Dewa Ruci ini juga dapat dirujuk pada hadis Nabi yang dikemukakan
oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya `Ulumuddin. Di antara hadis Nabi yang
dikemukakan itu ialah seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Thabrani,
“Hati seorang mukmin itu kosong, di dalamnya ada lampu yang bersinar-sinar,
sedangkan hati orang yang sesat itu hitam dan terbalik”.
151