Page 396 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 396
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Salah satu genre musik Islam yang berkembang luas di Indonesia adalah
shalawat. Meskipun shalawat lazimnya diasosiasikan dengan tradisi
pembacaan sejarah Nabi dan puji-pujian terhadap beliau – seperti dalam
pembacaan barzanji dan qasidah burdah – sesungguhnya pelbagai
komunitas Muslim Indonesia mengembangkan tradisi shalawat sedemikian
rupa dalam pelbagai bentuk dan konteks yang beragam. Namun
demikian, poin penting yang patut dicatat adalah bahwa para ulama,
kyai, dan sufi di Indonesia mengembangkan shalawat sebagai sarana
untuk mentransformasikan ajaran-ajaran Islam dengan cara memberikan
sentuhan lokal dari segi bentuk dan komposisi. (Kemat 2011)
Kaum sufi dengan kekayaan spiritualitasnya, bukan hanya terekam dalam
sejarah telah menjadi pelaku proses penyebaran Islam di Nusantara abad ke-
15/16 tetapi juga telah meninggalkan jejak estetika yang banyak pada beragam
seni dan musik Nusantara. Mereka mengembangkan jenis-jenis musik dan
tarian yang berakar dari tradisi Arab-Persia maupun Melayu-Jawa. Kemat (2011)
menulis,
Jejak-jejak estetika Islam tersebut dapat diidentifikasi dalam Saluang
Minang yang mencerminkan pengaruh tilawah pada musik lokal, tari
Seudati Aceh yang tumbuh dari tarian-tarian sufi, tari Pantil di Madura,
zikir rebana, zapin dan rampak yang tumbuh di lingkungan masyarakat
Melayu. Pengaruh musik sufi sangat kentara dalam tradisi Islam Nusantara.
Musik tiup yang ada di Nusantara, misalnya, mengambil nama dari kata
Persia nay. Orang Melayu menyebutnya serunai, orang Madura menyebut
sronen. Legenda tentang pokok bambu di hutan yang bila ditiup angin
akan mengalunkan nyanyian merdu, yang dalam hikayat Melayu disebut
‘buluh perindu’, berasal dari Rumi, yaitu dari bagian awal karyanya
Matsnawi (Kisah Seruling Bambu). Dalam gamelan Jawa, instrumen yang
berfungsi seperti itu ialah rebab, yang berasal dari musik Arab.Demikian
pula tembang-tembang suluk dalam bahasa Jawa, Sunda dan Madura;
Tâj al-Salâtin, Samrah al-Muhimmah, Serat Menak, Hikayat Amir Hamzah,
Umar Umaya, Menak Cina dan sebagainya. Di Jawa, para wali seperti
Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati
dalam dakwahnya sering menggunakan gamelan. Berkat kreativitas
para wali inilah estetika Gamelan Jawa, Sunda dan Madura berbeda
dengan estetika Gamelan Bali yang masih meneruskan tradisi Hindu
-- Gamelan Jawa dan Degung Sunda cenderung kontemplatif, karena
dalam estetika Islam yang diutamakan adalah penciptaan suasana khusuk
dalam merenungi Tuhan. Dalam berdakwah, para Wali Songo pada
umumnya menggunakan jalur-jalur kesenian. Raden Paku atau Sunan
Giri, yang disebut oleh Belanda sebagai “Paus dari Timur”, merupakan
382