Page 400 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 400

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                    Di masyarakat Jawa dan Sunda, sangat populer kesenian wayang yang dalam
                                    sejarahnya digunakan walisongo untuk berdakwah. Asalnya wajah wayang
                                    berbentuk manusia. Karena pertimbangan dengan syariat agama Islam, para
                                    wali pun mengubah bentuknya, lukisan wajahnya yang menghadap lurus
                                    kemudian agak dimiringkan. Setelah berdirinya kerajaan Islam Demak, wujud
                                    wayang geber diganti menjadi wayang kulit agar tidak menyerupai manusia,
                                    sumber ceritanya yang mengambil dari Kitab Ramayana dan Mahabarata dirubah
                                    menjadi cerita-cerita keislaman. Jimat yang sangat sakti diberi nama kalimasada
                                    (kalimat syahadat). Di Sunda juga dikenal kesenian debus, sebuah atraksi yang
                                    mengkombinasikan  seni  tari,  seni  suara  dan  seni  kebatinan  yang  bernuansa
                                    magis. Pertunjukkan debus dimulai dengan membaca shalawat dan dzikir selama
                                    beberapa menit yang diiringi musik. Awalnya, debus adalah ilmu bela diri untuk
                                    membangkitkan semangat untuk menghadapi musuh atau para pejuang dalam
                                    melawan penjajah. Kesenian yang bernuansa kekebalan ini, prinsip dasarnya
                                    adalah kepasrahan kepada Allah SWT yang menyebabkan mereka memiliki
                                    kekuatan untuk menghadapi bahaya. Debus adalah kesenian asli masyarakat
                                    Banten yang diciptakan pada abad ke-16 pada masa pemerintahan Sultan
                                    Maulana Hasanuddin (1532-1570) kemudian dialihkan untuk membangkitkan
                                    semangat pejuang dalam melawan Belanda pada masa pemerintahan Sultan
                                    Ageng Tirtayasa (1651-1682).

                                    Di Makkasar dikenal tradizi  pembacaan Barzanji yang disebut  Mabbarazanji
                                    atau akbarazanji yang sering dibacakan dalam acara-acara alahere (kelahiran)
                                    dan  aqeqah  (aqiqah),  appasunna (khitanan),  appatamma (khatam Qur’an),
                                    appabunting (perkawinan), menre bola (neik rumah), naik ri Mekkah (naik haji),
                                    dan ammateang (kematian. Sebelum datangnya Islam, dalam ritual-ritual adat
                                    biasanya dilakukan pembacaan Naskah I La Galigo dan Meongpalo KarallaE,
                                    tetapi pada masa Islam, bacaan itu diganti dengan sejarah kehidupan Nabi
                                    Muhammad. Pengaruh Islam pada adat Bugis dan Makasar juga terlihat dari
                                    upacara-upacara seperti Maudu Lompoa (Maulid Besar) di Cikoang dan Maros,
                                    Accera Kalompoang (pencucian benda pusaka Kerajaan Gowa) di Gowa, Maggiri
                                    di  Pangkep,  Appalili  di  Bontonompo  (Gowa),  Marumatang  di  Duampanuae
                                    (Sinjai), Akkaraeng di Kelara (Jeneponto), dan masih banyak lagi tentunya.
                                    Dan yang terkenal adalah budaya rantau orang Bugis-Makassar yang disebut
                                    Sompe.’ Jiwa rantau mereka telah menyebarkan mereka ke seluruh Nusantara
                                    sehingga terdapat kampung Bugis di berbagai daerah seperti di Yogyakarta,
                                    Bali, Aceh, Papua, Kalimantan, Singapura, Malaysia, bahkan hingga ke Afrika
                                    Selatan. Di Negeri Nelson Mandela itu terdapat perkampungan Makassar yang
                                    mayoritas penduduknya beragama Islam. Shekh Yusuf Al-Makassari, ulama
                                    besar Asia Tenggara asal Sulawesi Selatan pernah menyebarkan Islam hingga
                                    Afrika Selatan. Kerelaan orang Bugis-Makassar merantau ke tempat jauh dan
                                    meninggalkan keluarga, selain alasan ekonomi juga dipengaruhi alasan mencari
                                    ilmu yang dianjurkan Nabi: “tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina.” Karenanya,
                                    kriteria tokoh panutan di kalangan Masyarakat Bugis salah satunya disebutkan
                                    macca (pintar), sogi (banyak uang), dan pandrita (ulama atau teguh memegang
                                    agama).




                    386
   395   396   397   398   399   400   401   402   403   404   405