Page 398 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 398
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Di Jawa, dikenal grup musik dengan alat terbang, kendang, dan kemanak yang
disebut Santriswarandi Keraton Surakarta. Santriswaran dimainkan dengan
mengikuti nada gamelan, syair-syairnya berisi ungkapan-ungkapan ajaran
Islam dan budaya Jawa yang disisipi shalawat Nabi. Kemudian tari Menak yang
diciptakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang mirip wayang orang
yang idenya diambil dari Serat Menak. Ceritanya berbahasa Jawa/Sunda yang
disadur dari Persia. Jawa juga mengenal tradisi Kesenian Singiran yang sudah
hampir punah karena dianggap menyimpang dari Islam. Kesenian ini adalah
tradisi memperingati seribu hari kematian (3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari dan
1000 hari) salah satu warga masyarakat dengan pemberian nasehat-nasehat
bagi si mayat, anak cucu yang masih hidup dan para leluhur melalui pembacaan
kalimat tahlil yang mengiringi pembacaan narasi syi’iran. Di Bantul, ditemukan
juga kesenian Sholawat Jawi sebagai bentuk penegasan Jawanisasi kesenian
Islam. Kesenian ini adalah tradisi shalawat kepada Nabi Muhammad dengan
menggunakan bahasa Jawa dan melodi-melodi Jawa seperti langgam sinom,
dandang-gula, pangkur dan lain-lain. Suluk merupakan bentuk lain yang
menunjukkan pengaruh Islam di Jawa. Suluk adalah tulisan, berbahasa Jawa
maupun Arab, yang berisi pandangan hidup orang Jawa seperti serat wirid yang
dibaca berulang-ulang. Tradisi muludan sangat populer sejak awal abad ke-20
dan masih berlangsung hingga sekarang. Di keraton Yogyakarta, Surakarta dan
Cirebon, muludan diisi dengan berbagai acara seperti sekaten dan grebek mulud.
Sekaten adalah upacara untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di
lingkungan Keraton Yogyakarta yang konon diciptakan Sunan Bonang abad ke-
16. Syairnya berisi pesan-pesan tauhid dan setiap bait lagu diselingi ucapan dua
kalimat syahadat atau syahadatain yang kemudian menjadi sekaten. Sedangkan
Gerebek Maulud merupakan puncak peringatan maulud. Pada malam tanggal
11 Rabiul Awal, Sri Sultan beserta pembesar Keraton Yogya hadir di mesjid
Tari Saman atau Tari Zapin diiringi
irama gambus, diperagakan oleh
pasangan dengan mengenakan
sarung, kemeja, kopeah hitam
dan songket dan ikat kepala atau
destar.
Sumber: Museum Negeri Padang.
384