Page 408 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 408
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
dan teduhnya ketaatan beragama bagi masyarakat urban yang sedang dihimpit
perubahan sosial yang cepat, dislokasi dan disorientasi di tengah-tengah hingar-
bingarnya kehidupan sekular dari kebudayaan modern. Sepanjang tahun
1990an, di setiap bulan Ramadhan dan Idul Fitri, lagu-lagu kasidah Bimbo selalu
muncul diperdengarkan kepada khalayak masyarakat Islam Indonesia melalui
berbagai stasion televisi nasional. Kemudian, banyak artis mengambil bagian
menyanyikan lagu-lagu ini. Diakui Acil, kasidahnya ini dinyanyikan oleh berbagai
lapisan masyarakat, dari ibu-ibu Darmawanita, kelompok musik mahasiswa,
hingga para menteri dan seterusnya seperti sedang diselenggarakan festival.
Mengapa Bimbo beralih kepada lagu-lagu kasidah yang pada saat itu tidak
populer di kota-kotadan tidak menjanjikan?
Peralihan Bimbo pada lagu-lagu religius didasari oleh kesadaran agama yang
mulai tumbuh diantara mereka saat proses intensifikasi Islam sedang melanda
kelas menengah Muslim Indonesia sejak tahun 1980an. Motif kesadaran
agama ini nampak dari penjelasan Sam tentang musik kasidahnya. Ia berharap
kasidahnya semacam jenis penyerahan diri pada Tuhan:
“Ada kepuasan diri yang besar ketika kami mengarang lagu-lagu kasidah.
Ini semacam panggilan agama. Kami menulisnya secara intensif dan
mudah-mudahan ini sebagai persembahan kami… dengan memproduksi
lagu-lagu kasidah kami telah memperoleh kepuasan dan sesuatu yang
sangat berharga yang tidak bisa terukur oleh materi” (Sumarsono 1998:
173-174).
Bimbo berpendapat bahwa memproduksi lagu-lagu keagamaan dan
menyanyikannya, yang berisikan persembahan dan pemujaan kepada Tuhan,
kepada Nabi Muhammad SAW dan agama adalah bentuk kreasi seni tertinggi
dan prestasi terbesar dari seorang komponis. “Dalam hal inilah,” kata Sam,
“Bimbo menemukan kebahagiaan, kebanggaan dan kenikmatan sebagai
Muslim” (Sumarsono 1998: 182). Kesadaran berkarya karena panggilan jiwa
atau karena idealisme seorang seniman membuat karya-karya musik menjadi
berkualitas karena tidak berorientasi material atau menghitung pasar yang
ukurannya untung-rugi. Karya seni yang dasarnya untung rugi akan bermakna
dan kehilangan kualitas.
Yang membuat Bimbo fenomenal selama dua dasawarsa (1980-1990-an)
adalah kasidah kota yang estetik itu lahir di tengah-tengah hingar bingar
musik sekuler modern yang gaduh dan membuat jenuh. Kelas menengah
santri yang terurbanisasikan ke dalam glamornya kota-kota membayangkan
dan merindukan sebuah “ruang pribadi yang damai” (a peaceful private space)
394