Page 412 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 412

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                    menyatakan shalat adalah ciri antara seseorang yang disebut Muslim dan kafir.
                                    Dalam kasidahnya berjudul “Jangan tolak kenikmatan” Bimbo mengingatkan
                                    pentingnya shalat dengan tidak bernada normatif-doktrinal tapi efek perasaan
                                    dari melakukannya.

                                          Ada orang yang berkata
                                          Ibadah itu nanti kalau tua saja
                                          Ada kenalan yang bilang
                                          kalau sudah tua saya kan sembahyang


                                          Ternyata shalat itu nikmat
                                          terasa teduh serta damai
                                          dan tenang . . .





                                    Pertengahan tahun 1980an, jilbab atau kerudung yang saat itu mulai menjadi
                                    gerakan sosial keagamaan di kalangan pelajar SMA dan mahasiswa di kota-kota
                                    besar, menjadi perdebatan politik nasional antara pemerintah dengan kalangan
                                    Islam. Sebagai seorang yang berlatar abangan Jawa, Soeharto khawatir pengaruh
                                    Islam  yang semakin meluas  dan menguat di  masyarakat akan mengancam
                                    kekuasaannya. Di sisi lain, bagi umat Islam, busana Muslimah adalah murni
                                    perintah agama yang harus dilaksanakan sebagai bentuk ketaatan kepada
                                    Tuhan. Saat itu suasana cukup panas, dan seiring suasana kebangkitan Islam
                                    yang terasa kuat, penyebaran busana Muslimah tidak terbendung dan terus
                                    semakin banyak pemakainya. Bimbo mendukung gerakan kesadaran beragama
                                    ini dengan menulis sebuah lagu berjudul Aisyah Adinda Kita yang enak didengar,
                                    jauh dari nada normatif dan menyalahkan namun memberi semangat kepada
                                    para pelajar dan mahasiswa yang sedang menemukan kenikmatan beragama.
                                    Ketika musik berfungsi menjadi saluran gerakan sosial, menurut Gilroy, musik
                                    tidak lagi sekadar musik tetapi menyuntikkan yang disebutnya sebagai ”a great
                                    deal of courage“ (keberanian yang besar) untuk mendorong sebuah kesadaran
                                    menjadi kenyataan:


                                          The power of music in developing our struggles by communicating
                                          information,  organising  consciousness  and  testing  out,  deploying,  or
                                          amplifying the forms of subjectivity which are required by political agency,
                                          individual and collective, defensive and transformational, demands
                                          attention to both the formal attributes of this tradition of expression and
                                          its distinctive moral basis . . .  In the simplest terms, by posing the world
                                          as it is against the world as the racially subordinated went it to be, this
                                          musical culture supplies a great deal of the courage required to go on
                                          living in the present. (Frith 1996: 118)








                    398
   407   408   409   410   411   412   413   414   415   416   417