Page 56 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 56

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                          pada perkataan a’yan thabitah dan mengajarkan ilmu fiqih dalam negeri
                                          Aceh Darussalam. Kedua Syaikh Muhammad Yamani, ialah yang sangat
                                          tahu pada ilmu usul. Maka kedua syaikh itupun berbahas akan masa’ilah
                                          a’yan thabitah. Maka terhentilah  bahas itu, seorang  pun tiada dapat
                                          memutuskan dia. Hatta maka kedua syaikh itupun berlayarlah.

                                          Kemudian dari itu maka datang pula seorang pendeta dari benua Gujarat,
                                          bernama Syaikh Muhammad Jilani ibn Hassan ibn Muhammad, Hamid
                                          nama kaumnya, Quraisy bangsanya, Ranir nama negerinya, Syafi’i
                                          madzhabnya. Syaikh itulah yang mengajarkan ilmu mantiq ma’ani dan
                                          ilmu bayan badi’, dan ilmu usul, dan ilmu fiqah dalam negeri Aceh
                                          Darusaalam. Maka segala talibul-ilmi  pun hendak belajar ilmu tasawuf.
                                          Maka syaikh itupun bertangguh hingga sekali lagi ia datang. Hatta maka
                                          syaikh itupun berlayar ke Mekah.





                                    Kutipan di atas, dari  Bustan as-Salatin karangan Nuruddin al-Raniri,
                                                                                                             24
                                    menghadirkan tidak hanya kesaksian tentang suasana Kerajaan Aceh yang
                                    kosmopolit—khususnya dari sisi keagamaan—dan sekaligus penggunaan Bahasa
                                    Melayu yang semakin mapan sebagai media ekspresi intelektual keagamaan,
                                    di samping tentu saja untuk bidang sosial dan diplomasi-politik. Sebagaimana
                                    akan dijelaskan, kutipan di atas tidak hanya menunjukkan pengunaan Bahasa
                                    Melayu yang semakin “asli Melayu”, di mana unsur-unsur arkhais dari pra-klasik
                                    semakin  berkurang,  tapi  juga  tampilnya  genre  baru  dalam  tradisi  penulisan
                                    naskah  di  dunia  Melayu,  yang  disebut  “sastra  kitab”—karya  berisi  substansi
                                    ajaran agama Islam. Dan kitab Bustan as-Salatin, yang menjadi sumber kutipan
                                    di atas, termasuk salah satu dari sastra kitab tersebut.











                                    Sastra Kitab






                                    Perlu ditekankan bahwa istilah sastra kitab—pertama kali digunakan oleh
                                    Hooykaas  dan kemudian Brakel —mengacu kepada kelompok hikayat yang
                                                                    26
                                             25
                                    bercorak Islam atau hasil saduran Arab/Parsi, berbeda dengan sastra rekaan (sastra
                                    fiksi) dan sastra sejarah yang berkembang di dunia Melayu. Secara lebih spesifik,
                                    sastra kitab merujuk kepada karya-karya yang ditulis ulama Aceh terkemuka di






                    42
   51   52   53   54   55   56   57   58   59   60   61